Nasi Cawok Lezatnya Untuk Sarapan
Selain nasi tempong, ada satu lagi makanan khas Banyuwangi namanya nasi cawok. Entah bagaiamana sejarahnya, namun makanan khas ini biasa dijadikan sebagai menu sarapan pagi. Makanya, penjual nasi cawok tidak akan ditemui pada siang apalagi malam hari. "Penjual nasi cawok biasa buka warung jam antara jam 6 sampai 9 pagi. Setelah itu, tidak akan bisa ditemui lagi," kata Mu'inah (35), penjual nasi cawok di kawasan Kertosari, Banyuwangi.
Nasi cawok memang sangat khas dan unik karena memiliki "aksesoris" nasi yang sangat beragam. Di atas sepiring nasi, diberi lauk pepes ikan tuna, ditambah ikan pindang berkuah gula karamel, daun semanggi rebus, serta dua macam sambal, yaitu sambal serai dan sambal teri.
Itu masih ditambah dengan kuah terancam yang terbuat dari campuran kelapa muda yang di dalamnya terdapat jagung bakar dan becok teri, yaitu teri yang digoreng dengan kelapa muda, serta tambahan telur pindang, yaitu telur yang dimasak dengan aneka rempah. Dan, satu lagi yang tak boleh dilewatkan saat menyantap nasi cawok, yaitu kerupuk. "Itu semua pelengkap standar nasi cawok. Setiap penjual nasi cawok pasti sama saja lauk pelengkapnya," papar Mu'inah yang sudah berjualan sejak enam tahun silam.
Karena nasinya diberi campuran berbagai masakan, di balik kelezatannya, terdapat rasa unik di dalamnya. Ketika menyantap nasi cawok, saat sampai di lidah, akan terasa beragam rasa. Di balik gurihnya ikan pindang, akan terasa aroma sayuran yang dicampur kelapa yang sangat kuat. "Makanan seperti ini tidak pernah saya temui di daerah lain," papat ibu tiga anak itu.
Bahkan, saking banyaknya bahan masakan yang dibutuhkan, di Banyuwangi sendiri tak terlalu banyak orang berjualan nasi cawok. Namun, karena nasi cawok ini merupakan makanan khas yang sukar ditemui di tempat lain, maka menjelang atau setiap musim liburan tiba, terutama memasuki hari raya Lebaran, warga Banyuwangi pulang kampung sudah dipastikan akan berburu nasi cawok sebagai hidangan di pagi hari. "Setiap Lebaran tiba, saya cuma bisa libur di hari pertama saja. Di hari kedua Lebaran saya sudah harus jualan lagi, soalnya banyak orang Banyuwangi yang pulang kampung rindu ingin menyantap nasi cawok," kata Mu'inah sambil tersenyum.
Malam itu, suasana warung nasi tempong milik Holisa yang ada di Jl. Thamrin dipenuhi pembeli. Sebagian pembeli ada yang menyantapnya di tempat sebagian lainnya dipesan untuk dibawa pulang. Meski, warungnya sangat sederhana, menempati sebagian teras rumah, dengan menempatkan sejumlah bangku dan meja untuk makan para pembeli, serta tempat duduk lesehan di ruang tamu yang hanya berukuran 3x4 meter yang dialasi karpet. Namun, itu tidak mengurangi kenikmatan para pembeli untuk menikmati nasi tempong Holisa.
Para pembeli terlihat lahap menyantap nasi lengkap dengan lauk, sayur, dan sambalnya. Meski berpeluh dan wajah memerah karena kepedasan, mereka seolah enggan menghentikan menyantap nasi tempong. "Setiap sore saya langganan makan di sini. Masakannya sedap, terutama sambalnya," kata seorang pembeli yang begitu asyik melahap makanan yang ada di tangannya.
Sebenarnya, nasi tempong adalah makanan yang sangat sederhana. Tapi, itu menjadi makanan khas dan idola sebagian besar warga Banyuwangi. Terbukti, setiap sudut jalan tampak warung yang menjual nasi tempong. Entah itu di depan rumah warga atau warung kaki lima. Menu nasi tempong terdiri dari sepiring nasi panas, sayuran rebus seperti bayam, kubis, sawi, terung, atau kangkung. Serta ada satu bahan makanan yang tak bisa dilewatkan saat menyantap nasi tempong, adalah sambal mentah yang super pedas.
Sedangkan lauk yang menjadi kekhasannya adalah ikan asin, tahu, dan tempe goreng. Kendati demikian, setiap penjual nasi tempog biasannya menyediakan beragam lauk lain sesuai selera pembeli. Seperti botok tawon, lele, jeroan ayam, telur dadar, ikan bakar, dan banyak lagi. "Yang jadi syarat utama menyantap nasi tempong, harus dinikmati dalam keadaan nasi masih panas dan sambal super pedas. Jadi, yang makan bersemangat menyatapnya, dengan wajah penuh keringat akibat kepedasan," tutur Holisa sambil tersenyum.
Menurut Holisa, kata tempong dalam bahasa daerah Banyuwangi artinya tempeleng. Jadi, kira-kira makna nasi tempong adalah nasi tempong yang terdiri dari nasi panas dikombinasi dengan sambal pedas. "Rasanya kira-kira mirip seperti orang ditempeleng wajahnya, panas," jelas Holisa menjelaskan asal muasal sebutan nasi tempong di dalam kultur Banyuwangi.
Nasi tempong, lanjut Holisa lebih banyak dinikmati orang pada sore hingga malam atau dini hari. Makanya, warung nasi tempong lebih banyak buka menjelang sore dan tutup pada dini hari.
Holisa yang asli Banyuwangi, sudah berjualan nasi tempong sejak 1989. Dalam sejarah yang diketahui Holisa, di zaman dahulu nasi tempong adalah makanan yang biasa disantap para petani di sawah. Nasi dengan lauk sederhana itu sebagai pengisi perut para petani yang sudah bekerja keras di sawah atau ladang. "Makan di pematang sawah dengan lauk seadanya, didukung suasana alam pegunungan yang hijau dan perut sangat lapar, tetap memberi kenikmatan tersendiri," papar Holisa yang sehari-hari bisa menghabiskan beras sebanyak 25 kilogram.
Akan tetapi, entah bagaimana awal mulanya, makanan yang dulu biasa dikosnumsi petani di tengah sawah, kini justru "naik kasta". Lantaran, nasi tempong dikonsumsi masyarakat umum dari berbagai kalanagn, dan dijual di warung-warung yang bertebaran di berbagai sudut kota.
Selain warung Holisa, salah satu warung nasi tempong yang cukup ramai dikunjungi yakni nasi tempong Mbok Wah, yang ada di Jl. Gembrung. Fisik warung Mbok Wah memang terlihat lebih bagus dan tertata rapi. Ia menempati sebuah lahan berukuran sekitar 6x8 meter yang ada di sebelah rumahnya.
Ada beberapa baris bangku dan meja yang tertata rapi, termasuk disediakan kulkas khusus untuk menyimpan berbagai minuman ringan bagi pembeli. Karena itu, sejak siang menjelang sora Mbok Wah membuka warung nasi tempongnya hingga tengah malam. Pembelinya paun tak pernah putus datang. "Memang tidak sampai berjubel, tapi juga tidak pernah sepi," kata Sunarso (54) suami Maswah alias Mbok Wah.
Bapak dua anak yang berjualan nasi tempong sejak empat tahun silam ini mengakui, nasi tempong yang dijualnya tak jauh berbeda dengan nasi tempong lain. Namun, ia menduga, yang menjadi daya tarik orang datang ke warungnya adalah cara ia mengolah masakannya. Sunarso memang masih melestarikan cara memasak tradisional dalam mengolah semua masakannya, menggunakan kayu bakar dan sama sekali tak menggunakan minyak tanah atau gas elpiji. "Itu membuat masakan terasa lebih lezat, dan aroma nasinya jadi berbeda," imbuh Sunarso.
Ada satu lagi yang membedakan nasi tempong Mbok Wah dibanding yang lain. yaitu, harganya tergolong sangat murah. Sejak dulu sampai sekarang Mbok Wah tak pernah menaikkan harga. Sekalipun harga cabai melambung tinggi, Mbok Wah tetap bertahan menjual seporsi nasi tempong Rp 3 ribu, berisi nasi, sayur, ikan asin, tempe, dan tahu. "Bahkan, kami tidak akan menolak rezeki. Seseorang dengan uang berapapaun, kalau ingin makan silakan, sama istri saya pasti diladeni," imbuh Sunarso yang dalam sehari dia bisa menghabiskan beras sekitar 50 kilogram lebih.
Sunarso jugapunya pengalaman unik yang tak terlupakan. Sekitar dua tahun silam, warungnya kedatangan pejabat kepolisian Jatim. Ia tidak tahu persis jabatan polisi itu. Namun, yang pasti, saat sang pejabat itu datang ke warungnya, dari ujung gang rumahnya hingga ke warungnya dijaga amat ketat oleh sejumlah polisi dan kendaraan voorijder. "Kalau beliau bukan pembesar polisi, mana mungkin akan diperlakukan seperti itu, ya," ucap Sunarso lugu seraya mengatakan, sejumlah pejabat daerah juga sering datang untuk makan di tempatnya.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR