Soto Bok Ireng Warung Bertembok Hitam
angan di kira Soto Bok Ireng (hitam) ini kuahnya berwarna hitam. Yang berwarna hitam ternyata adalah tembok warungnya, yang disingkat menjadi bok ireng. Kelezatan soto ini terletak dari koyanya yang gurih dan kuahnya yang terasa ringan tak berlemak, sama seperti soto di daerah Jawa lainnya.
Kayatin (64) yang sudah 25 tahun meneruskan usaha Soto Bok Ireng sepeninggal ibunya, tak pernah pindah lokasi sejak lama, tetap membuka warungnya di persimpangan Jalan Kelud, Blitar. Warung sempit yang juga tak berubah ukuran sejak dulu, kira-kira berukuran 3 x 3 meter, selalu penuh dan menjadi pilihan warga Blitar untuk mengisi perut.
Soto daging atau jeroan yang disajikan dalam mangkuk kecil ini dihargai Rp 5 ribu saja. Jadi wajar bila banyak pelanggannya bisa menghabiskan Soto Bok Ireng hingga 2-3 mangkuk sekali makan, agar lebih puas menikmatinya.
Setiap harinya, Kayatin menghabiskan 10 kg daging dan jeroan dalam waktu singkat, sebab ia membuka warung sejak pukul 08.00 hingga 14.00. Dan biasanya, sebelum sore warung Soto Bok Ireng sudah tutup karena sotonya sudah habis.
"Kadang habisnya bisa lebih cepat. Berapa banyak mangkuk soto yang terjual, saya enggak pernah hitung. Tahu-tahu panci yang terus di jok (di tuang), sudah habis," ujar Kayatin yang mengaku tak pernah merasa lelah setiap hari berjualan soto.
Uniknya, di dalam warung soto bok ireng ini masih terdapat satu rombong (pikulan) soto model tanduk sapi yang dijaga langsung oleh Kayatin agar racikan sotonya pas dan sesuai takarannya.
Suasana warung soto Kayatin sangat sederhana, tak ada hiasan apapun selain kalender yang menggantung di tembok berwarna hitam, serta atap yang juga menghitam dipenuhi jelaga akibat asap dari proses memasak soto. Namun, makan di warung ini akan terasa nuansa Blitar yang begitu khas.
Soto yang terletak di Jalan Kalibrantas No. 49, Desa Sumberudel, Blitar, ini dikenal sebagai soto langganan Wapres Boediono. Konon, setiap ia pulang ke kampung halamannya ini bisa dipastikan akan selalu mampir ke warung Soto Tukimin.
Sebenarnya, menurut cerita Tuminah (69), generasi kedua Soto Tukimin, cikal bakal soto ini adalah Soto Pak Tukimin yang sudah ada sejak zaman agresi militer Belanda ke-2, yakni sekitar tahun 1948. Sebelum berada di lokasi yang sekarang, Soto Tukimin hingga tahun 1997 berlokasi di sebelah Gedung Patria, tepatnya di Jl Cokroaminoto. Pindah tempat karena sang pemilik membeli tempat yang lebih luas dan nyaman.
"Dulu, sejak saya kecil memang sudah diajari memasak soto oleh Bapak. Saya memang anak pertama Pak Tukimin, jadi saya yang meneruskan usaha beliau. Beberapa adik saya juga buka warung soto, walaupun tidak menggunakan nama Bapak," ungkapnya.
Soto Tukimin terkenal lewat soto ayamnya, meski di sini juga tersedia soto daging sapi yang tidak kalah enaknya. Tuminah membuka warungnya dari pukul 08.00 hingga 17.00. Setiap harinya, kata Tuminah, ia biasa menghabiskan sekitar 200 mangkuk soto ayam dan 100 mangkuk soto daging. Harga per mangkuknya Rp 5 ribu, dengan ukuran mangkuk yang sedang. Namun, porsi soto yang disajikan tergolong banyak. Sehingga para penyuka soto bisa dengan puas menikmatinya.
Soto Tukimin merupakan salah satu lokasi wisata kuliner yang wajib dikunjungi. Pasalnya, gaung kenaran soto ini tak hanya berhenti di Blitar saja, melainkan sudah mencapai kota lain, bahkan Jakarta. Sehingga, tidak heran bila banyak artis ibu kota yang pernah mampir mencicipinya soto ini.
Bumbu yang diracik oleh Tuminah pun diakui tak memiliki keistimewaan khusus, namun ia memang masih mempertahankan kualitas bahan baku dan citarasa khas dengan memilih ayam kampung untuk melengkapi kuah sotonya.
Swita A Hapsari / bersambung
KOMENTAR