Warung Mak Ti Murah & Ambil Sepuasnya
Sang itu suasana di ruang makan warung Mak Ti, di Desa Jatinom, Kec. Kanigoro, Kab Blitar (Jatim) dipenuhi banyak pengunjung. Mereka yang datang berombongan tak hanya berasal dari Blitar saja, tapi juga dari kota-kota lain seperti Nganjuk, Kediri, Jombang, dan lainnya. Mereka tampak begitu bersemangat ingin segera mencicipi masakan yang tersedia. Begitu memasuki warung, masing-masing mengambil piring kemudian memenuhinya sendiri dengan nasi dan aneka lauk-pauk.
Berbagai macam jenis sayur seperti lodeh tewel (nangka muda), lompong, pepaya muda, dan lainnya lengkap dengan sambal terhampar di sejumlah panci diatas meja. Ikan goreng seperti bader, wader, jendil, nila, baik yang digoreng maupun disayur juga tersaji. "Yang saya jual di sini, ya, masakan ala desa atau kampung saja," kata Mak Ti yang memiliki nama lengkap Supiyati (51).
Uniknya, warung makan Mak Ti tidak berada di tengah kota, melainkan di dalam perkampungan yang jaraknya sekitar 10 Km dari jantungkota Blitar. Kendati jaraknya cukup jauh, namun tak mengurangi minat orang-orang yang ingin merasakan masakan olahannya. "Kalau pas hari libur, justru makin ramai pembeli," kata ibu tiga anak yang masih tampak bugar dan segar ini.
Mak Ti lalu menceritakan, ia mulai membuka warung makan sejak tahun 2000. Sebelum membuka usaha makanan, ia bekerja sebagai juru masak panggilan. Biasannya ketika ada orang di desanya menggelar hajat, Mak Ti lah yang mengolah masakan untuk para tamu. Karena secara ekonomi tak ada perkembangan, ia mencoba mendirikan warung makan kecil-kecilan di depan rumahnya.
Namun, sejak awal membuka warung, Mak Ti memang telah membuat konsep berbeda dari warung lainnya. Ia membuatnya mirip seperti restoran di kota zaman sekarang, all you can eat, setiap pembeli boleh mengambil makanan sepuasanya cukup hanya membayar Rp 5000.
Awalnya, pembelinya sebagian besar mereka yang akan mau berangkat atau pulang dari sawah. "Tujuan saya tidak muluk-muluk, yang penting tidak rugi, dan cukup makan buat anak-anak, serta bisa berbagi dengan warga yang ada disini," ujar Mak Ti yang ketiga anaknya sudah berkeluarga dan berekonomi mapan.
Rupanya, masakan sederhana, murah, meriah namun lezat itu diminati banyak orang. Dari mulut ke mulut kemudian informasi itu meluas hingga ke luar kampung bahkan sekarang sampai ke luar daerah. Bersamaan dengan bertambahnya jumlah pembeli, Mak Ti pun memperluas warung makannya. Bahkan bagian depan warungnya juga disediakan lahan parkir yang cukup luas. Karena yang datang ke warungnya tak hanya mobil kecil saja, tapi terkadang rombongan dengan minibus.
Saking sudah terkenalnya, yang makan di warung Mak Ti tak hanya masyarakat umum. Wapres Budiono, dan sejumlah artis, termasuk Farah Quin, selebrity chef yang pernah syuting di warungnya yang sederhana namun bersih. "Saya juga heran, warung saya yang cuma begini dengan masakan seadanya, kok, ya didatangi artis sampai pejabat penting," imbuh ibu berkulit putih ini sambil tersenyum.
Padahal, menurut Mak Ti, ia tidak memiliki resep khusus dalam measak, hanya menggunakan bahan dasar pilihan, dari beras, bumbu, dan ikan air tawar pasokan dari pencari ikan di Bendungan Selorejo, Malang yang menjadi menu utamanya. Dalam sehari, ia mendapat pasokan 5 kuintal ikan segar, dari nila, mujair, bader, jendil, juga bandeng. "Kalau disuruh menjelaskan resepnya, saya pikir tidak ada bedanya dengan orang lain, cuma soal rasa, kan, memang sudah bawaan tangan, ya," katanya sambil tertawa.
Soal harga, Mak Ti juga menyebutkan, terbilang murah. Pembeli bisa makan nasi dan lauk sepuanya cukup dengan membayar Rp 8 ribu ditambah Rp 2 ribu untuk segala jenis minuman yang ada. "Kalau mau tambah ikan satu piring penuh, baru saya minta tambahan Rp 5000, tapi kalau cuma mengambil dua atau tiga ikan saja, akan saya gratiskan," imbuh Mak Ti.
Dengan meningkatnya jumlah pembeli, tentu penghasilannya jadi luar biasa. Rata-rata dalam sehari, ia menerima pemasukan Rp 8 - 10 juta. "Selain dimakan di tempat, tidak jarang pembeli juga minta diantar makannya. Saya juga melayani katering untuk rombongan dalam jumlah besar yang datang dari berbagai daerah," imbuhnya.
Salah seorang pelanggan Mak Ti, Yuli, yang berdinas di Kantor Pendapatan Daerah Kab. Nganjuk terlihat datang bersama beberapa temannya untuk makan. Ia mengaku sudah sering menikmati masakan Mak Ti. "Kebetulan saya bersama teman-teman ada tugas di Blitar, jadi sebelum pulang kami sempatkan mampir makan siang bersama di sini," imbuh Yuli.
Blitar juga terkenal dengan dengan nasi pecelnya. Bahkan, sambal pecel Blitar sudah tidak asing lagi di telinga banyak orang. Salah satu penjual nasi pecel yang paling terkenal adalah Nasi Pecel Mbok Bari. Nasi pecelnya sudah sangat dikenal karena sudah ada sejak tahun 40-an.
"Dulu ibu saya (Mbok Bari) bersama nenek saya berjualan nasi pecel cerkeliling, sering dipanggil oleh Bung Karno dan keluarganya di kediamannya di Istana Gebang," kata Abdul Rochim (52), anak keempat Mbok Bari, yang membuka cabang keempat yang lokasinya tak jauh dari makam Sang Proklamator di Sentul, Blitar.
Tak hanya itu, ketika Megawati Soekarnoputri naik menjadi presiden, saat bertandang ke Blitar untuk mengunjungi makam ayahnya, juga tak lupa menyempatkan diri untuk mampir makan nasi pecel di Mbok Bari. "Karena nama ibu saya sudah dipakai sejak puluhan tahun silam, jadi memang namanya lebih dikenal," ujar Abdul Rochim didampingi istrinya Hj. Susiana yang sehari-hari tetap melayani pembeli.
Tanpa menyombongkan diri, Abdul Rochim menjelaskan, nasi pecel dari keluarga Mbok Bari, memang selalu menjadi jujugan atau panduan pembeli. Ia pun dulu mendapat didikan langsung dari sang ibu dalam berjualan nasi pecel. Ia masih ingat persis, setiap hari semua anak-anaknya punya kewajiban membuat berbagai kebutuhan sebelum warung nasi pecel buka di pagi hari. "Ibu memang tidak pernah mengajari secara khusus, tapi karena pekerjaan anak-anaknya sehari-hari membantu, jadi akhirnya bisa dengan sendirinya," terang Abdul Rochim seraya mengatakan, Mbok Bari meninggal dunia tahun 2004 lalu.
Salah satu tugas Abdul Rochim dulu adalah membuat bumbu pecel. Karena saat itu belum ada alat penggiling, sehingga untuk menghaluskan kacang cuma ada satu cara yaitu ditumbuk di lumpang batu berukuran besar. "Waktu kecil, setelah salat Subuh, kami sudah dibangunkan untuk membantu membuat bumbu pecel di warung ibu," papar Rochim.
Susiana juga ikut menjelaskan, pada dasarnya membuat bumbu pecel di manapun resepnya hampir sama. Tapi persoalannya, selain masing-masing orang memiliki perasaan yang berbeda dalam hal cita rasa, ada satu hal lagi yang dibutuhkan untuk menghasilkan bumbu yang lezat. Yaitu soal kualitas bahan.
Misalnya, untuk menghasilkan rasa bumbu yang pas, selain formula takaran antara satu bumbu dengan lainnya harus pas, kacang yang dijadikan bahan utama juga harus berkualitas terbaik. Di antarannya, ukuran butiran kacang itu harus rata satu dengan lainnya. "Misalnya, sebutir kacang berukuran 8 mm, maka secara keseluruhan juga harus berukuran 8 mm. Kalau yang lainnya lebih kecil-kecil, berarti itu kacang muda. Kalau tetap digunakan, rasanya akan jauh berbeda. Sebab ketika digoreng, kematangan tidak bisa sama antara satu butir kacang dengan lainnya," imbuh Susiana.
Selain itu, untuk menghasilkan bumbu yang gurih, harus tetap menggunakan kacang lokal. Kacang "made in" India yang saat ini banyak dijual di pasaran, apabila dijadikan bahan bumbu pecel akan menghasilkan bumbu yang kurang gurih. "Tak peduli kacang lokal harganya lebih mahal, tetap akan saya pilih demi menjaga kualitas. Kami, kan, sudah lama berjualan, jadi soal bahan tidak berani main-main," imbuh Susiana seraya mengatakan, jika siang hari pembeli nasi pecelnya sebagian besar adalah para karyawan kantor pemerintahan.
Untuk saat ini, lanjut Susiana, dalam sehari ia bisa menghabiskan sekitar 30 kilogram beras, bahkan jika musim liburan atau ada kegiatan di makam Bung Karno, dalam sehari ia bisa menghabiskan 75 kilogram beras. Sedangkan untuk sayuran pecelnya, ia menyediakan berbagai macam jenis, dari daun turi, bayam, kacang, kecipir, daun pepayan, daun ketela, cambah, juga daun kenikir.
Agar makin bersemangat makan, pembeli diminta mengambil sendiri nasi dan lauk pauk mendamping pecelnya, seperti tahu, tempe, dan berbagai masakan ikan. "Kalau diminta mengambil sendiri, kan, ada kesan pembeli jadi merasa lebih istimewa daripada diladeni," ujar Susiana.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR