Soal harga, Mak Ti juga menyebutkan, terbilang murah. Pembeli bisa makan nasi dan lauk sepuanya cukup dengan membayar Rp 8 ribu ditambah Rp 2 ribu untuk segala jenis minuman yang ada. "Kalau mau tambah ikan satu piring penuh, baru saya minta tambahan Rp 5000, tapi kalau cuma mengambil dua atau tiga ikan saja, akan saya gratiskan," imbuh Mak Ti.
Dengan meningkatnya jumlah pembeli, tentu penghasilannya jadi luar biasa. Rata-rata dalam sehari, ia menerima pemasukan Rp 8 - 10 juta. "Selain dimakan di tempat, tidak jarang pembeli juga minta diantar makannya. Saya juga melayani katering untuk rombongan dalam jumlah besar yang datang dari berbagai daerah," imbuhnya.
Salah seorang pelanggan Mak Ti, Yuli, yang berdinas di Kantor Pendapatan Daerah Kab. Nganjuk terlihat datang bersama beberapa temannya untuk makan. Ia mengaku sudah sering menikmati masakan Mak Ti. "Kebetulan saya bersama teman-teman ada tugas di Blitar, jadi sebelum pulang kami sempatkan mampir makan siang bersama di sini," imbuh Yuli.
Blitar juga terkenal dengan dengan nasi pecelnya. Bahkan, sambal pecel Blitar sudah tidak asing lagi di telinga banyak orang. Salah satu penjual nasi pecel yang paling terkenal adalah Nasi Pecel Mbok Bari. Nasi pecelnya sudah sangat dikenal karena sudah ada sejak tahun 40-an.
"Dulu ibu saya (Mbok Bari) bersama nenek saya berjualan nasi pecel cerkeliling, sering dipanggil oleh Bung Karno dan keluarganya di kediamannya di Istana Gebang," kata Abdul Rochim (52), anak keempat Mbok Bari, yang membuka cabang keempat yang lokasinya tak jauh dari makam Sang Proklamator di Sentul, Blitar.
Tak hanya itu, ketika Megawati Soekarnoputri naik menjadi presiden, saat bertandang ke Blitar untuk mengunjungi makam ayahnya, juga tak lupa menyempatkan diri untuk mampir makan nasi pecel di Mbok Bari. "Karena nama ibu saya sudah dipakai sejak puluhan tahun silam, jadi memang namanya lebih dikenal," ujar Abdul Rochim didampingi istrinya Hj. Susiana yang sehari-hari tetap melayani pembeli.
Tanpa menyombongkan diri, Abdul Rochim menjelaskan, nasi pecel dari keluarga Mbok Bari, memang selalu menjadi jujugan atau panduan pembeli. Ia pun dulu mendapat didikan langsung dari sang ibu dalam berjualan nasi pecel. Ia masih ingat persis, setiap hari semua anak-anaknya punya kewajiban membuat berbagai kebutuhan sebelum warung nasi pecel buka di pagi hari. "Ibu memang tidak pernah mengajari secara khusus, tapi karena pekerjaan anak-anaknya sehari-hari membantu, jadi akhirnya bisa dengan sendirinya," terang Abdul Rochim seraya mengatakan, Mbok Bari meninggal dunia tahun 2004 lalu.
Salah satu tugas Abdul Rochim dulu adalah membuat bumbu pecel. Karena saat itu belum ada alat penggiling, sehingga untuk menghaluskan kacang cuma ada satu cara yaitu ditumbuk di lumpang batu berukuran besar. "Waktu kecil, setelah salat Subuh, kami sudah dibangunkan untuk membantu membuat bumbu pecel di warung ibu," papar Rochim.
Susiana juga ikut menjelaskan, pada dasarnya membuat bumbu pecel di manapun resepnya hampir sama. Tapi persoalannya, selain masing-masing orang memiliki perasaan yang berbeda dalam hal cita rasa, ada satu hal lagi yang dibutuhkan untuk menghasilkan bumbu yang lezat. Yaitu soal kualitas bahan.
Misalnya, untuk menghasilkan rasa bumbu yang pas, selain formula takaran antara satu bumbu dengan lainnya harus pas, kacang yang dijadikan bahan utama juga harus berkualitas terbaik. Di antarannya, ukuran butiran kacang itu harus rata satu dengan lainnya. "Misalnya, sebutir kacang berukuran 8 mm, maka secara keseluruhan juga harus berukuran 8 mm. Kalau yang lainnya lebih kecil-kecil, berarti itu kacang muda. Kalau tetap digunakan, rasanya akan jauh berbeda. Sebab ketika digoreng, kematangan tidak bisa sama antara satu butir kacang dengan lainnya," imbuh Susiana.
Selain itu, untuk menghasilkan bumbu yang gurih, harus tetap menggunakan kacang lokal. Kacang "made in" India yang saat ini banyak dijual di pasaran, apabila dijadikan bahan bumbu pecel akan menghasilkan bumbu yang kurang gurih. "Tak peduli kacang lokal harganya lebih mahal, tetap akan saya pilih demi menjaga kualitas. Kami, kan, sudah lama berjualan, jadi soal bahan tidak berani main-main," imbuh Susiana seraya mengatakan, jika siang hari pembeli nasi pecelnya sebagian besar adalah para karyawan kantor pemerintahan.
Untuk saat ini, lanjut Susiana, dalam sehari ia bisa menghabiskan sekitar 30 kilogram beras, bahkan jika musim liburan atau ada kegiatan di makam Bung Karno, dalam sehari ia bisa menghabiskan 75 kilogram beras. Sedangkan untuk sayuran pecelnya, ia menyediakan berbagai macam jenis, dari daun turi, bayam, kacang, kecipir, daun pepayan, daun ketela, cambah, juga daun kenikir.
Agar makin bersemangat makan, pembeli diminta mengambil sendiri nasi dan lauk pauk mendamping pecelnya, seperti tahu, tempe, dan berbagai masakan ikan. "Kalau diminta mengambil sendiri, kan, ada kesan pembeli jadi merasa lebih istimewa daripada diladeni," ujar Susiana.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR