Kisah penculikan Ilham yang diduga dilakukan Rahmat Arjuna itu berawal pasa 23 Januari silam. Ibunda Ilham, Desi, mengenal Rahmat dari seorang rekannya yang bernama Hindun, pengasuh Faris, teman sekolah Ilham di Bina Anggita, Yogyakarta. Rahmat, kata Desi, mengutip kalimat Hindun, mampu menerapi kondisi Faris yang juga autis selama enam bulan di rumah kediaman Rahmat di Kotagede, sebelum pindah ke Desa Pajangan, Bantul.
Desi pun secara samar merasa melihat ada kemajuan dan perbaikan pada diri Faris, yang konon sudah diterapi Rahmat. "Faris, kan, sudah disekolahkan sejak bayi. Jadi, dia tergolong anak autis yang sudah mandiri. Dia diterapi oleh Rahmat mungkin karena neneknya Faris ingin cucunya bisa lebih baik lagi," papar Desi.
Menurut Desi, masih mengutip kalimat Hindun, Rahmat mengaku sebagai terapis anak berkebutuhan khusus, seperti yang dialami Faris maupun Ilham. "Terapinya meliputi pengajaran soal kemandirian termasuk akademisnya. Si anak juga diberi obat herbal," terang Desi yang baru menyadari buah hatinya menderita autis ketika Ilham berusia 2 bulan karena mata Ilham tak fokus saat diberi mainan.
Terdorong ingin mengusahakan kondisi Ilham agar lebih baik dan mandiri, Desi pun menelepon Rahmat. "Ilham hiperaktif sekali. Tiap kali memegang barang suka dipukulkan ke dada dan kepalanya. Bila minta sesuatu sementara saya tak mengerti maksudnya, tangannya akan dia gigit sendiri. Di usianya ke-8, cara berjalan Ilham juga masih agak jinjit (berjingkat). Cara bicaranya pun belum lancar. Bahkan, terlihat belum paham dengan lingkungannya," papar Desi lagi yang pernah berupaya menerapi Ilham berjalan, bicara, serta stimulasi motorik halus dan kasar di RSUP Dr. Sardjito, Jogja.
Alamat Palsu
Seusai menelepon Rahmat pada 23 Januari, Desi berkisah, pria yang baru dikenalnya itu kemudian datang keesokan harinya ke kediaman Desi di Kampung Ngadimulyo, Kuncen, Jogja. Rahmat, kata Desi, datang bersama seorang perempuan bernama Jesi. Rahmat lalu minta diperlihatkan kondisi Ilham. Anehnya, begitu dikenalkan, Ilham langsung terlihat akrab dengan Rahmat. Malam itu juga Ilham dibawa Rahmat. Keesokan harinya Ilham dibawa kembali ke rumah Desi.
Menurut Desi, menirukan ucapan Rahmat, Ilham harus diterapi kakinya selama 4 bulan. Tetapi selama diterapi, Ilham tak boleh dijenguk. Salah satu terapinya, "Ilham harus berjalan sejauh 5 km per hari. Kami berpikir, terapi cara Rahmat itu masuk akal karena bila cuma berjalan, bagi Ilham mudah saja karena fisiknya kuat. Saat dipijat kakinya, Ilham meronta kesakitan. Namun, ucapan Rahmat sebagai seorang terapis, amat meyakinkan saya," ucap Ikhwan menimpali.
Untuk menjalani semua terapi itu, Desi dan Ihkwan mengaku harus membayar sejumlah uang kepada Rahmat yang harus ditransfer secara bertahap. "Tahap pertama Rp 3 juta, bulan ke-2, ke-3, dan ke-4 masing-masing Rp 2,25 juta. Itu di luar biaya obat, MRI (Magnetic Resonance Imaging, Red.), transportasi, dan lainnya. Rahmat berjanji akan mengembalikan Ilham kepada kami pada 20 Juni. Ya, demi anak, kami tidak keberatan Rahmat membawa Ilham pada Minggu, 24 Januari. Kami bawakan juga baju-baju Ilham. Kebetulan Ilham langsung "nempel" sama Rahmat," papar Ikhwan.
Seminggu setelah Ilham dibawa Rahmat, Ikhwan dan Desi masih menaruh rasa percaya kepada Rahmat. Mereka pun mentransfer uang sebesar Rp 3 juta ke rekening Rahmat sebagai pembayaran tahap pertama. Seminggu kemudian, Rahmat menelepon Desi meminta uang untuk membeli lemari pakaian dan dikirimkan kasur untuk tempat tidur Ilham. "Waktu itu Rahmat tinggal di Pajangan. Jadi kami antarkan kasur itu ke sana. Sesampainya di sana, kami sama sekali tak melihat keberadaan Ilham. Katanya, sih, Ilham tertidur di mobil sehabis diajak ke Panjatan, tempat orangtua Rahmat. Meski begitu, kami percaya saja pada Rahmat," tambah Ikhwan.
Tak lama, Desi dan Ikhwan mendengar kabar Rahmat hijrah ke Jakarta dan meninggalkan alamat sekolah terapi Kasih Suci di kawasan Cengkareng. "Setelah dicek teman yang ada di Jakarta, alamat itu ternyata palsu. Bukan tempat terapi melainkan rumah susun. Sejak itulah kami mulai curiga. Tapi komunikasi saya dengan Rahmat masih lancar. Rahmat kembali mengingatkan, kami tak boleh menjenguk Ilham dan berkata, Kasih Suci bukan sekolah terapi melainkan tempat tinggal Rahmat. Kami tentu semakin curiga," tutur Ikhwan.
Memasuki bulan kedua, kata Ikhwan, Rahmat mulai minta tambahan transfer uang sebesar Rp 4,5 juta untuk memeriksakan MRI pada Ilham. "Kami yang sudah mulai curiga jadi tambah curiga. Hingga bulan keempat yang seharusnya kami mentransfer uang sebesar Rp 2,25 juta, tidak jadi kami transfer. Kami lalu mengatakan ke Rahmat, bila Ilham dikembalikan baru akan kami bayar."
Tiga hari menjelang hari kepulangan Ilham, yaitu tanggal 17 Juni, Ikhwan melanjutkan cerita, Rahmat tiba-tiba meminta uang Rp 300 ribu untuk ongkos kembali ke Jogja. "Dia juga minta uang obat herbal sebesar Rp 340 ribu plus uang obat batuk Rp 84 ribu. Saya bilang ke dia, bayarkan saja dulu sendiri, nanti sesampainya di Jogja saya ganti. Eh, dia memaksa saya untuk mentransfer uang. Anehnya, setelah saya transfer semua yang dia minta, sampai sekarang dia jadi sulit dihubungi," ucap Desi kesal.
Akhirnya, hingga tanggal yang dijanjikan Rahmat, Ilham tak kunjung dikembalikan. Ihkwan dan Desi pun tersadar bila telah tertipu. Ibu tiga anak ini mengaku masih berusaha bersabar hingga seminggu kemudian. Namun, Rahmat dan Ilham tetap tak kunjung tiba.
Khawatir terjadi sesuatu terhadap putranya, Ikhwan yang sehari-harinya amat dekat dengan Ilham, segera mencari Hindun dan minta ditunjukkan alamat orangtua Rahmat di Panjatan, Kulonprogo. "Setelah kami bertemu orangtua Rahmat yang bernama Wagiman, katanya sudah tiga tahun Rahmat tak pernah pulang. Tapi, setelah saya melihat motor Rahmat ada di rumah itu, akhirnya Wagiman mengaku dan sengaja menahan motor itu karena Rahmat belum mengganti biaya makan anak-anak autis yang dibawa Rahmat ke Kulonprogo."
Tak ingin hanya berpangku tangan dan menunggu kabar saja, Ikhwan lalu melaporkan Rahmat ke Polresta Yogyakarta pada 27 Januari. "Tapi sampai saat ini, kok, kami belum pernah diberitahu soal hasilnya oleh polisi. Padahal, saya juga sudah berupaya mencari sendiri lewat Twitter, Facebook, BlackBerry Messenger, sampai pasang iklan di media massa. Tapi masih nihil," sesal Ikhwan.
Rini Sulistyati / bersambung
KOMENTAR