Kebaya panjang bersulam benang emas 24 karat yang dikenakan sepasang pengantin keraton pengerjaannya dilakukan oleh Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Titien Sekar Arum, putri (Alm) KRT Setyodiningrat. Ia memang menerima mandat menyulam busana pengantin, berikut selop dan pernak-perniknya. "Ya, busana pengantin, selop, opek, boroh, dan pernak-perniknya kami selesaikan dalam tempo tiga bulan. Semua benar-benar hand made. Kami membuatnya disertai laku prihatin agar hasilnya tak mengecewakan," terang Titien.
Sayangnya, Titien tak ingat lagi berapa kelos benang emas asal India yang dihabiskan untuk menyulam busana khas Jogja ini. "Motifnya ceplok-ceplok bunga. Di tepiannya ada list sulaman hingga ke bagian leher. Sementara yang kakung (busana pria) juga dihiasi sulam bludir dari leher hingga sepanjang beskap."
Keraton Yogya, lanjut Titien, memang langganan menyulamkan busana-busana untuk upacara adat kebesaran kepadanya. "Saat Sultan HB X akan naik tahta, busana yang dikenakannya juga kami yang buat. Malah beliau dan GKR Hemas rawuh sendiri ke rumah kami. Dari pernikahan Gusti Pembayun, putri sulung Ngarsadalem, hingga Jeng Reni, kami juga masih dipercaya. Bangga dipercaya keluarga keraton," ucapnya.
Pesanan mbludir (menyulam) busana pengantin warna hitam dan marun itu, lanjut Titien, datang sekitar Juli silam. "Busananya sudah kami diambil pertengahan September. Kami terima dalam bentuk potongan busana dari penjahitnya," tambah Titien.
75 Kebaya
Lantas, siapakah yang menjahit busana berbahan beludru hitam dan merah marun untuk kedua calon pengantin? Tersebutlah nama Yustina Suliyati dari Modeste Talenta. Yus membenarkan, ia menerima dhawuh GKR. Hemas untuk menjahitkan busana pengantin keraton. "Setelah dijahit, saya pasangi Svarowsky Jepang pilihan Kanjeng Ratu Hemas. Svarowsky-nya saya jahit di sekujur busana, depan dan belakang. Beskap Mas Ubai juga dihiasi Svarowsky biar serasi dengan Gusti Reni. Saya juga menjahitkan kebaya untuk prosesi pernikahan, dari Siraman, Tantingan dan Midodareni."
Selain menjahit busana untuk kirab dan resepsi, Yus juga dipercaya membuat sejumlah kebaya baru untuk GKR. Hemas. Salah satunya kebaya panjang bertabur Svarowsky yang akan dikenakannya pada resepsi pernikahan putri bungsunya. "Juga kebaya kakak-kakak Gusti Reni dan putrinya GKR. Pembayun."
Perkenalan Yus dengan GKR. Hemas terjadi sejak permaisuri Sultan HB X itu masih bergelar KRAy. Mangkubumi. "Kalau tak salah sudah 22 tahun saya jadi langganan GKR. Hemas," ucap Yus, yang total membuat 75 kebaya keluarga keraton untuk keperluan pernikahan GKR. Bendara dan KPH. Yudanegara.
Sejak beberapa tahun lalu, pembatik Afif Syakur memiliki keinginan terpendam membuat duplikat batik keraton yang memiliki simbol dan filosofi tinggi. Akan tetapi, sekadar untuk mengoleksi atau memuaskan hati saja pun ia tak berani. Sebab, tak ada dhawuh dari keraton.
Namun, pucuk dicinta ulam tiba. Sekitar Maret lalu, hati Afif mendadak bungah lantaran GKR. Hemas memberi tugas menduplikat sepasang kain kampuh pengantin. Kain itu dikenakan GKR. Bendara dan KPH Yudonegara (pada 18 Oktober) pada upacara Panggih, dengan busana pengantin gaya paes ageng.
Ketika keraton memberi kekuasaan menduplikat kain kampuh, tentu haruslah yang bisa memperlakukan kain itu dengan istimewa, sehingga hasilnya pun akan tampak spesial. Dan Afif dianggap mampu melakukan itu. "Saya selalu punya pemikiran, membatik itu memberi nyawa pada setiap helai kain yang dibatiknya. Sehingga sehelai kain batik bisa bercerita."
Menurut Afif, banyak orang mampu menduplikat kain kampuh. Tetapi, "Tak semua orang mau membatik kain yang panjangnya sembilan meter dan disambung. Itu bukan pekerjaan mudah. Saya pikir itu perlu kecintaan khusus dan rasa memiliki terhadap kain itu." Untuk kain kampuh yang dibuatnya kali ini, Afif memilih kain primisima terbaik, dan mengerahkan empat jujuru prada terbaik. "Tim ini saya kumpulkan dan saya ajak bicara agar bisa menghasilkan karya terbaik."
Bermakna Agung
Afif berkisah, titah GKR. Hemas ini pun tak datang begitu saja. "Beberapa kali saya diajak bicara oleh GKR. Hemas. Beliau bertanya, apakah saya mampu membuat kain kampuh motif Semen. Tentu saya jawab dengan senang hati. Kira-kira bulan April dhawuh pun turun." Selama proses pembuatan, GKR. Hemas memantau kinerja Afif. Ketika pekerjaan baru setengah jalan, hasilnya diperlihatkan kepada Ratu Hemas. Ternyata diminta dilanjutkan.
Membuat kain kampuh, kata Afif, dibutuhkan ketelitian dan kesabaran agar nilai-nilai dalam membatik menjadi tinggi, dan tak ada kata menyerah. "Memang harus menyiapkan mental betul. Saya tak tahu, kain yang saya repro itu buatan tahun berapa. Saya hanya berusaha menyerupai aslinya. Hingga empat bulan lebih kain itu baru selesai dibuat. Saat mengecek pradanya, saya turun langsung untuk melihat kesamaan hasilnya karena dibuat sepasang."
Kini, kain itu siap dikenakan calon pengantin. Lalu, apa makna motif kain kampuh Semen itu? "Tentang daur hidup manusia, persemaian dari lahir hingga meninggal. Maknanya, manusia sebaiknya berbuat hal yang bermanfaat, arif, bijaksana agar setelah meninggal namanya harum. Motif Semen sebenarnya tidak khusus untuk pengantin. Biasanya pengantin pakai motif Sidomukti, Sidoasih, Sidoluhur. Sementara Semen ini motif kebesaran (agung), seperti halnya Parang Barong yang hanya boleh dikenakan raja."
Motif kampuh ini juga berbeda dengan kampuh yang dipakai gaya pengantin paes ageng yang biasa dipakai pengantin rakyat kebanyakan. "Motifnya indah sekali. Tidak seperti kebanyakan, Semennya kecil-kecil." Dan bagi Afif, kain kampuh ini bukanlah master piece-nya. Sebab ia menduplikat sesuai pakem. "Saya lebih berkeringat menduplikasi kampuh ini dari pada saat membuat master piece saya."
Dan, ada satu pesan khusus GKR. Hermas yang akan selalu diingat Afif. "Ibu Ratu berpesan agar saya tidak menduplikat apa yang dititahkan beliau."
Aneka perhiasan yang dikenakan para putri Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada acara-acara tertentu merupakan pusaka keraton yang diwariskan turun-temurun. Tak terkecuali perhiasan pengantin yang dinamakan Raja Keputren. Aneka perhiasan itu, seperti bros, kalung, gelang, dan lainnya, disimpan dalam satu gedung khusus di keraton yang dinamakan Gedhong Mandra Gini. Gedhong ini dijaga oleh petugas khusus yang amat dipercaya pihak keraton.
Benda-benda pusaka itu hanya dikenakan dan dikeluarkan pada saat-saat tertentu saja. Cara mengeluarkannya pun memakai tata cara atau aturan khusus. Semua dicatat rapi saat mengeluarkan maupun masa pengembaliannya.
Nah, di hari pernikahan GKR. Bendara yang akan berlangsung pada 16-18 Oktober, putri bungsu Ngarsadalem Sultan HB X itu juga akan mengenakan pusaka Raja Keputren. Menurut Hj. Tienuk Rifky yang diserahi tanggung jawab merias dan menata busana pengantin, GKR. Bendara dan KPH. Yudanegara akan mengenakan semua perhiasan pengantin. "Mulai dari cunduk mentul (hiasan berbentuk bunga berjumlah tujuh buah di atas sanggul), pethat (sisir melintang di atas kepala), centhung (hiasan di kanan dan kiri atas telinga), suweng/anting, kelat bahu (hiasan di kanan dan kiri lengan), binggel (gelang), kalung bersusun, bros, dan cincin," terangnya.
Semua perhiasan itu terbuat dari emas yang telah diwariskan turun-temurun oleh leluhur Keraton Ngayogyakarta. Jadi, bayangkan betapa beratnya "beban" sang pengantin di hari H-nya nanti. Dan sebagai calon menantu Sultan yang berasal dari rakyat biasa, Ahmad Ubaidillah pada 3 Juli lalu telah dinaikkan statusnya dengan dianugerahi gelar dan nama baru, KPH. Yudanegara.
Gelar dan nama baru itu merupakan syarat bagi Ubai sebagai calon menantu Sultan. Kendati demikian, kuluk (topi) kebesaran pengantin yang akan dikenakannya berbeda dengan kuluk yang biasa dikenakan para putra raja yang berwarna biru langit. "Mas Ubai akan mengenakan kuluk warna putih. Tetapi perhiasan yang dikenakan di hari H, tetap mengenakan perhiasan dari keraton," papar Tienuk.
Rini Sulistyati
KOMENTAR