Rasa sedih masih mengimpit dadaku bila mengingat ujung perjalanan hidup Umi. Bagaimana tidak, proses hukum yang dijalani Umi berlangsung begitu cepat, lantas dihukum penggal (qhisas) dengan tuduhan yang menurut banyak orang tidak masuk akal. Membunuh orang tua yang sedang salat? Rasanya sangat tidak mungkin ibu kami melakukan hal keji seperti itu.
Kami sekeluarga mengenal Umi sebagai pribadi yang humoris. Teman-teman sesama TKW juga cerita, dia suka becanda. Di rumah, Umi sangat sayang pada anak-anak dan cucu-cucunya. Umi senang membuatkan masakan istimewa buat kami, sayur asam dan sambal terasi. Bila ingat semua kenangan itu, sedih sekali.
Tanggal 11 sampai 20 Agustus lalu, aku dan rombongan dari Komnas Perempuan, Migrant Care, Wahid Institute, juga wartawan televisi sempat pergi ke Arab Saudi. Dulu, BNP2TKI sempat menjanjikan akan memberangkatkan dua anak Umi ke sana, namun tak pernah terealisasi. Ada sedikit rasa lega karena akhirnya aku bisa ziarah ke makam Umi, walau akhirnya aku juga menemukan banyak kejanggalan yang makin membuat sesak di dada.
Terburu-Buru
Begitu sampai di Mekah, rombongan kami bertemu pejabat KJRI, Bapak Zakaria dan Bapak Didi Wahyudi. Sebagaimana yang telah direncanakan, kami berbagi informasi tentang Umi, terutama selama Umi menjalani masa tahanan 1 tahun 4 bulan. Katanya, Umi tidak didampingi pengacara selama proses pengadilan, hanya didampingi pihak KJRI saja. Tentu saja aku kaget dan sedih mendengarnya.
Anehnya ketika kutanyakan siapa yang mendampingi Umi, mereka tidak bisa menyebut nama. Wah, apalagi ini? Apa mungkin mereka bohong karena sebetulnya tak ada yang mendampingi Umi? Bisa jadi dari mulai proses awal hingga eksekusi, Umi dibiarkan sendiri saja. Alhasil, untuk menambah informasi, aku juga bertanya-tanya pada supir-supir TKI yang ada di sana.
Jawaban yang kuterima justru menambah kecurigaanku. Kata mereka, sidang Umi termasuk cepat. Biasanya perlu berkali-kali sidang untuk menjatuhkan vonis pancung, tak seperti Umi yang hanya menjalani satu-dua sidang. Lagipula, kenapa begitu usai dipancung jenazah Umi langsung dimakamkan? Kesannya terburu-buru sekali, hanya dua jam setelah eksekusi Umi dimakamkan.
Aku juga dengar dari Darsem, TKW asal Subang yang lolos dari hukum pancung, proses kasus Umi ini sangat terburu-buru. Bisa jadi jika prosesnya panjang malah terbongkar bahwa majikannya yang bersalah. Ah, entahlah.
Aku hanya merasa tidak adil karena selama proses pengadilan tak ada yang melindungi Umi. Bukankah seharusnya ada wakil dari TKI yang mendampingi? Rasa kesalku makin memuncak saat ingat kata-kata majikan Warni, teman Umi sesama TKW yang kumintai tolong menjenguk Umi di penjara. "Ngapain ditengok? Pemerintah saja tidak ada yang nengokin," begitu katanya.
Kekecewaan berikut yang kutemui di Arab, ternyata makam Umi tak sesuai dengan informasi dari BNP2TKI. Tadinya kata mereka, Umi dimakamkan di Ma'la, berdampingan dengan makam Khadijah RA. Ternyata dari KJRI aku diberitahu, makam Umi terletak di Saroya. Segera kami menuju Saroya untuk ziarah. Benar saja, Umi dimakamkan di makam nomor 25.
Keterangan yang berubah-ubah ini tentu membuatku bingung. Kenapa mesti bohong pada kami soal lokasi makam? Bagiku, walaupun Umi dimakamkan di samping makam Khadijah, aku tetap ingin jenazah Umi dipindahkan ke Indonesia saja. Kalau di sini, kapan pun kami bisa 'menjenguk' Umi. Beda dengan di Arab yang biayanya besar. Apalagi, kata orang, kalau sudah tinggal tulang, makam Umi bisa diganti dengan jenazah lain.
Hal yang lebih menyesakkan lagi, sama seperti saat meminta jenazah Umi dipulangkan, aku juga menemui kesulitan saat meminta pakaian Umi dikembalikan. Aku sempat menelepon anak mantan majikan Umi. Kata mereka, pakaian Umi ada di polisi. Kuutarakan niatku mengambil baju Umi pada pihak KJRI dengan harapan mereka bisa membantu. Tapi jawaban yang kudapatkan lumayan membuat hatiku sakit. "Kalau pakaiannya sudah sampai ke KJRI, nanti juga dikirim ke Indonesia."
Enteng sekali jawaban mereka. Padahal, aku hanya minta tolong ambilkan. Paling tidak, menemaniku ke polisi untuk mengambilnya. Kan, tidak mungkin juga aku serta merta pergi ke kantor polisi tanpa pendampingan pihak yang berwenang.
Semua temuan kami saat di Arab memperlihatkan kepadaku, KJRI rasanya kurang bertanggung jawab menjalankan tugasnya. Bahkan saat Umi berada di penjara sekalipun, baik KJRI maupun BNP2TKI, tak ada yang mengupayakan agar Umi bisa berkomunikasi dengan keluarga.
Laili Damayanti / bersambung
KOMENTAR