Tak perlu ditanya bagaimana perasaanku saat itu. Aku menerima kenyataan itu di antara rasa percaya dan tidak. Bayangkan, pagi harinya anakku sudah dalam keadaan baik sekali, dan tinggal pemulihan saja. Tapi akibat si perawat, aku harus kehilangan buah hati. Saat itu, semua orang berusaha menenangkan aku, tetapi tidak aku gubris. Aku peluk tubuh Nur yang sudah terbujur kaku erat-erat, dengan derai tangis. "Ya Allah secepat ini Kau panggil anakku," teriakku.
Malam itu, aku tak bisa berpikir apa-apa selain meratapi kesedihan. Jenazah Nur dapat dikeluarkan dari RS malam itu juga dan langsung kami bawa ke Paciran, Lamongan, kampung halamanku, untuk dimakamkan keesokan paginya.
Di dalam hati, kami jelas-jelas tidak terima, dan harus ada yang bertangung jawab. Memang, persoal hidup dan mati merupakan garis takdir Allah, tetapi siapa yang menjadi penyebab kematian anakku, tetap harus dimintai pertanggung jawaban. Jujur saja, malam itu aku masih belum bisa berpikir macam-macam kecuali hanya menangis saja.
Setelah pemakaman Nur, aku hanya bisa meratapi kepergiannya. Baru seminggu kemudian aku kembali ke Probolinggo. Karena aku tak tahan selalu ingat Nur, aku tak mau tinggal di rumah kontrakanku di Kelurahan Mayangan. Dan untuk sementara ini, aku tinggal di rumah kakaku, Jl. Bengawan Solo, Probolinggo. Di Mayangan, terlalu banyak kenangan yang terus mengingatkan aku akan buah hatiku.
Kepergian yang terhitung begitu mendadak itu tak mampu menghilangkan bayang-bayang Nur di mataku. Aku memang tak membeda-bedakan kasih sayang terhadap anak-anakku yang lain. Tapi, di antara ketiga anakku, yang memiliki pribadi terbaik justru Nur. Sifatnya sebagai anak manis sudah terlihat. sejak dini
Nur memiliki karakter periang, meski masih balita ia sangat penurut. Misalnya, setiap aku melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, mencuci baju, sampai menurunkan jemuran, ia berusaha membantu sekenanya. "Enggak apa-apa, aku sayang Ibu dan pingin bantu Ibu," ucap Nur.
Bahkan, keceriaan dan keberanian Nur dalam berbiacara dengan orang lain, sempat membuat seorang guru PAUD meminta agar Nur segera dimasukkan ke sekolah tempatnya mengajar.
Tenaga Honorer
Sekitar 10 hari setelah kepergian Nur, tiba-tiba aku mendapat surat dari RS. Aku diminta datang menghadap Direktur RS dr. Bambang Agus Suwignya MMkes. Dalam pertemuan itu, selain mengucapkan belasungkawa, dr. Bambang juga meminta maaf atas kesalahan perawatnya sehingga menyebabkan kematian anakku.
Di kesempatan itu pula dr. Bambang menawarkan, mungkin lebih tepatnya mengajukan permohonan maaf dengan bentuk kompensasi atas kesalahan pihak perawat di RS-nya. Ketika itu, aku tak bisa berkata apa-apa. Bayangkan, mana ada orangtua yang bisa menghargai nyawa anaknya dengan uang? Aku pun hanya terdiam membisu, dan bersama suami memilih bergegas pulang.
Sampai di rumah, aku bingung harus menyikapi bagaimana tawaran dr. Bambang tadi. Di tengah kekalutan itu, aku dan suami lalu secara asal saja mengirim surat minta ganti Rp 3 milyar. Saya akui, nilai itu sebenarnya tak ada artinya dibandingkan nyawa anakku.
Beberapa hari kemudian aku diundang lagi bersama suami ke RS. Dari pertemuan itu dr. Bambang menyampaikan dua opsi, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kesalahan itu. Pertama, pihak RS akan mengangkat diriku sebagai tenaga perawat honorer di RS itu atau menerima uang sebesar Rp 10 juta. Tentu saja, opsi itu terlalu jauh dari apa yang kami utarakan. Jelas kami kecewa berat. Aku dan suami kembali tak bisa berbuat apa-apa kecuali langsung kembali ke rumah.
Karena aku tak paham persoalan hukum, kemudian aku dibantu pengacara setempat, Hadun, SH. Sebelumnya, suami sempat mendatangi RS untuk menemui manajemen rumah sakit. Dan yang membuat kami kembali kecewa berat, RS mengirim surat kepada kami yang intinya justru terkesan "menantang".
Dalam surat itu tertulis beberapa poin, tetapi yang paling terpenting adalah pada poin ke-4 yang intinya pihak RS tidak menghalangi jika kami akan melakukan upaya hukum. Bayangkan, sudah jelas-jelas salah, malah mengatakan demikian. Beruntung aku seorang petrawat sehingga mengetahui letak kesalahannya.
Coba, andai kata orang awam, aku yakin kejadian ini akan berlalu begitu saja dan dianggap tidak ada kesalahan apa-apa. Karena merasa benar, sekarang aku sudah bertekad untuk terus melakukan tindakan hukum. Aku bersama pengacara sudah bersiap untuk melaporkan kejadian ini ke polisi. Bahkan, beberapa hari yang lalu, meski belum melapor secara resmi, polisi sudah datang kemari untuk minta keterangan. Aku melakukan tindakan hukum ini bertujuan agar kejadian serupa jangan sampai terjadi lagi. Cukup aku saja yang mengalami.
Wakil Direktur Bagian Pelayanan Medik RS Dr. Mohammad Saleh, Probolinggo, dr. Achmad Taufiqurahman MMkes, ketika ditemui NOVA, Rabu (28/9) menegaskan, tindakan yang dilakukan tenaga medis ketika melakukan penannganan Nur Rahmatullah, sudah sesuai dengan protap yang ada. "Kami sudah melakukan sesuai prosedur, jadi tidak ada yang salah," kata Taufiq.
Menurutnya, kematian itu tidak disebabkan akibat tindakan medis, tetapi karena kondisi korban saat itu sudah parah. Racun akibat tetanus yang masuk ke dalam tubuh korban sudah masuk kategori 3B, artinya racun itu sudah masuk ke otak pasien.
Taufiq juga memaparkan, hal itu bisa diketahui dari tiga ciri, yaitu leher kaku, tidak bisa buka mulut, serta kejang punggung. "Dalam teori medis, jika sudah sampai tahap itu, sangat kecil kemungkinan pasien akan tertolong jiwanya," imbuh Taufiq. Namun, ketika dikonfirmasi soal obat jenis penicilin yang seharusnya diberikan melalui suntikan di bagian tubuh yang berotot tebal bukannya melalui infus, Taufiq mengakui, secara normatif memang demikian, namun di dalam literatur tidak disebutkan adanya larangan.
Setelah kembali dimintai konfirmasi bahwa di label obat itu disebutkan cara memasukkan obat hanya melalui intra muscular (only IM) Taufiq hanya menajwab singkat, "Coba nanti kita lihat lagi." Taufiq pun enggan menjawab ketika dikonfirmasi mengenai siapa yang berinisiatif memasukkan obat melalui infus (intra vena) ke tubuh Nur. "Wah, nanti kita jadi menuduh seseorang," kilahnya.
Taufiq bahkan menepis, pernyataan dari pihak keluarga Nur bahwa Direktur RS dr. Bambang dalam pertemuan awal pernah meminta maaf terhadap keluarga Nur, termasuk menawari ibu korban menjadi tenaga honorer di RS. "Enggak, ah. Kami tidak pernah minta maaf, juga tidak pernah menawari yang lain," ucapnya.
Namun, ketika ditanya alasannya mengapa pihak RS menawarkan akan memberi Rp 10 juta kepada orangtua Nur, "Itu uang ucapan belasungkawa, sebab ibunya, kan, sama-sama satu korps dengan kita."
Sementara itu, Kasatreskrim Polres Probolinggo, AKP Agus I Supriyanto, menjelaskan, saat ini pihaknya belum menerima laporan resmi dari keluarga korban. Kendati demikian, pihaknya sudah melakukan penyelidikan untuk mengumpulkan alat bukti. "Saya berharap, keluarga korban segera melapor supaya bisa kami lakukan pemberkasan," kata Agus.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR