Benar saja, dugaanku tidak meleset sedikitpun. Hanya berselang 2-3 menit kemudian, tubuh Nur bukan hanya kejang-kejang, tapi tubuhnya sampai melintir-melintir. Saking parahnya, bahkan anakku sampai membanting-banting tubuhnya sendiri di tempat tidur. Di saat kejadian itu, datanglah Dian, sang perawat yang kemudian meminta maaf atas kesalahan yang diperbuatnya.
Sungguh, aku tak bisa melukiskan gejolak perasaanku saat itu. Aku hanya bisa tertegun, sampai air mata ini terus meleleh melihat tubuh Nur yang sudah tak bisa berhenti bergerak-gerak dengan hebatnya. "Ya Allah, betapa sakitnya yang dialami anakku ini," teriakku dalam hati.
Sebagai seorang yang pernah diajari ilmu kesehatan, aku tahu persis anakku ini tengah mengalami kesakitan yang amat sangat hebat. Akibat ginjal, liver, maupun organ penting lain di dalam tubuhnya mengalami kerusakan fatal secara mendadak.
Jika memang harus dilakukan tindakan, mestinya pencucian darah, lambung, juga paru. Anehnya, saat itu sama sekali tidak ada tindakan apa-apa dari para medis yang bertugas. Saya hanya bisa menangis, minta ada tindakan khusus, tapi semua orang hanya terdiam seolah bingung harus berbuat apa. Itulah yang membuat saya sampai saat ini kecewa berat terhadap pelayanan RS.
Di tengah kepanikan itu aku sudah minta berkali-kali agar anakku dibawa ke ICU dan dilakukan pengawasan 24 jam penuh. Tapi lagi-lagi dokter jaga yang ada di dekatku seolah bingung tak mengerti harus berbuat apa. Di sisi lain aku juga sepenuhnya sadar, sebenarnya ajal Nur tak akan lama lagi. Sebab kondisinya sudah sangat kritis. Dan yang tak aku bisa lupakan, Nur sudah tak bisa bernapas lewat hidung lagi, melainkan hanya melalui mulut. Suara napas Nur yang mendesis itu sampai saat ini pun tak bisa aku lupakan.
Baru sekitar pukul 15.00 Nur sempat diinfus lagi, tapi infus itu untuk mengobati infeksinya, jadi menuruktu tindakan itu tidak nyambung sama sekali. Di saat aku tak tega melihat tubuh Nur yang meregang-regang terus kesakitan, aku langsung menuju masjid RS untuk mengaji, demi menguatkan hati.
Setelah aku desak terus, barulah pada pukul 18.00 Nur dimasukkan ke ruang ICU. Waktu itu dr. Endah, spesialis anak juga datang. Kendati demikian, ia pun sepertinya tidak bisa berbuat banyak karena keadaan Nur sudah kritis. Jujur, saat itu aku sudah tak tega lagi menunggui Nur. Aku hanya bisa menangis di luar pintu, sementara yang mendampingi Nur adalah suamiku.
Sebagai ibu, aku tentu berharap bisa menunggui buah hatiku. Maka, tetap kulihat dari jauh alat pendeteksi pernapasan Nur. Malam itu, hatiku rasanya diiris sembilu, sebab makin malam alat pendeteksi pernapasan yang ada di monitor tercatat 90 ke bawah dan terus menerus menurun. Padahal, jika sudah di level 90 ke bawah, itu pertanda harapan untuk hidup sangat rendah.
Rupanya, suamiku pun mulai tak tahan melihat Nur, sehingga ia ke luar ruangan, mendampingi aku yang juga sudah tak mampu apa-apa lagi, kecuali menangis dan berdoa. Saat itu, dr. Endah juga sudah tahu, waktu Nur tak akan lama lagi, sehingga mengajak suamiku untuk masuk ke ruang rawat Nur.
Benar saja, beberapa menit kemudian, aku mendengar suara tiiiiiiit... yang panjang dari mesin pemantau detak jantung dan pernapasan. itu artinya, semua organ tubuh anakku sudah berhenti. Tangisku pun seketika pecah.
Gandhi Wasono M./ bersambung
KOMENTAR