Bagaimana kondisi Anda, AN, dan AIF saat ini?
Sampai detik ini, kami masih bekerja. Kalau menuruti emosi, sih, mungkin saya sudah resign dari pekerjan. Tapi saya pilih tetap profesional. Sebenarnya kami bisa dibilang cukup kuat menghadapi kasus ini. Rasa sakit, trauma, dan kesal masih ada, tapi nangisnya sudah lewat. Banyak juga yang heran, kenapa kami bertiga masih bisa ceria meski ada masalah begini.
Apa yang sebetulnya terjadi?
Awal kejadiannya tanggal 6 Juli. Saya dipanggil ke ruangan G, diminta memeriksa berkas PT. H. Setelah sekitar sejam berargumentasi dan diskusi, saya disuruh membenahi berkas dan kembali ke ruangan. Saat sedang bebenah berkas itulah, G jalan ke arah pintu, mengobrol sebentar dengan Sekpri-nya (sekretaris pribadi). Saya tidak tahu mereka mengobrol apa. Tak lama kemudian, G menutup pintu, berjalan ke arah saya. Kebetulan posisi badan saya membelakangi dia.
Tiba-tiba tangannya memegang dan meremas payudara sebelah kiri. Saya kaget dan langsung teriak sambil menepis tangannya, "Pak, enggak boleh seperti itu!" Sambil berlalu dia bilang, "Ah, kecil aja, kok, ndak terasa toh?!" Saya protes balik, "Lha, memang kalau kecil, boleh dipegang?" Eh, dia malah cengar-cengir. Mungkin dia kira reaksi saya hanya bercanda. Saya buru-buru ke luar, menghindar secepatnya sebelum dia berbuat tak senonoh lagi.
Hanya sekali itu?
Selang dua minggu, tepatnya tanggal 21 dan 28 Juli, kejadian yang sama terulang. Tapi, karena malu dan syok, saya pilih diam. Kali ini lebih parah. Selain dada, bibir saya juga diremas. Saya teriak sambil menepis tangannya. Lagi-lagi G cuma cengar-cengir sambil bilang, "Sssttt, ntar kedengaran ke luar." Saya masih jaga sikap dan emosi agar dia tidak malu kalau ketahuan staf lain, lalu buru-buru ke luar ruangan.
Belakangan saya menyesal kenapa tidak tegas sama kelakuan bejatnya itu. Sejak itu, kinerja saya jadi terganggu. Tiap dipanggil G untuk periksa berkas, rasanya deg-degan, takut, sampai keringat dingin. Saking traumanya, selama dua minggu tidur saya tak nyenyak. Sedih dan kesal setiap ingat kelakuannya.
Tidak. Pintu ruangan G memang selalu dalam keadaan tertutup meskipun sedang ada orang lain di dalam. Ditambah lagi, bilik ruangan G letaknya di dalam ruangan lain. Sebelum masuk ruangannya, harus melewati ruangan sekpri dan aspri. Sekatnya dari triplek tebal dan didalam ruangan banyak rak besar yang merapat ke dinding. Jadi, kalau tidak teriak kenceng, ya, enggak terdengar dari luar.
Apa yang selanjutnya terjadi?
Setelah kejadian pertama, saya hanya cerita ke A, teman di ruangan yang sudah saya anggap adik sendiri. A itu tunangannya AIF, sekretaris pribadi G. Saya juga minta pada A agar mengingatkan AIF dan AN agar hati-hati pada G karena mereka berdua juga sering dipanggil ke ruangan G. Insting saya langsung bergerak, minta A mencari tahu apakah AN dan AIF pernah mengalami hal sama. Soalnya, G dengan staf seperti saya saja berani, terlebih saya berjilbab, bagaimana dengan AN dan AIF yang jadi asisten pribadi dan sekretarisnya?
Ternyata?
Benar saja! Setelah saya tanya, AN dan AIF baru cerita, mereka juga mengalami pelecehan seksual oleh G. Pelecehan yang dialami AN terjadi sekitar Maret dan Juli lalu. Padahal, AN yang lulusan S2, adalah anak teman G dan dibimbing tesis secara informal oleh G. Sedangkan AIF menjadi korban paling lama, sejak 2010. Saya dan AN sudah berkeluarga, sedangkan AIF sudah bertunangan.
Pernah mencoba menegur G?
Awal Agustus kami bertiga menemui G didampingi suami dan tunangan masing-masing. Saya terpaksa cerita pada suami karena dia melihat perubahan wajah saya ketika ditelepon AN untuk membicarakan hal ini. Begitu tahu, jelas suami marah. Tapi saat kami "melabrak" ramai-ramai itu, saya minta suami tidak bertindak gegabah. Jangan sekali-sekali memukul G karena bisa-bisa nanti malah berbalik tuduhannya.
Apa isi pertemuan itu?
Dalam pembicaraan, kami semua minta pertanggungjawaban G. Atas inisiatif kami juga, pengakuan yang keluar dari mulut G direkam dalam bentuk video. Just in case suatu saat dia berkelit. Total, ada 13 orang saksi dalam ruangan, termasuk Deputi yang menjadi atasan G. Tapi yang membuat saya kecewa, sikapnya dingin, malah cenderung tidak peduli. Dia juga sepertinya takut bertemu kami, para korban.
Saat itu G janji mau mengundurkan diri setelah Lebaran dan minta maaf pada kami atas kekhilafannya. Buktinya sampai sekarang masih ada di kantor. Kami juga sudah buat pengaduan resmi ke kantor dan atasan G sebanyak dua kali namun tak ada tanggapan.
Apa ada ancaman dari G?
Sempat AIF diancam akan dimutasi ke Papua jika membesarkan kasus ini. Karena memang Papua itu lokasi terjauh, AIF sedikit tertekan. Ancaman ini cukup mengganggu meski G sebenarnya tak punya wewenang untuk memindahtugaskan staf. AIF dan AN akhirnya dikembalikan ke unit kerja satuan teknis, tepat dua hari setelah kejadian tanggal 1 Agustus itu. Mereka tidak lagi menjadi aspri dan sekpri.
Kalau terhadap Anda?
G tidak mengancam secara personal. Dia lebih concern ke pekerjaan. Katanya, kalau pekerjaan saya enggak beres, mau dipindahkan. Begitu pun pada staf yang lain. Cuma saya enggak berpikir dia seserius itu. Dia, kan, doktor, pintar lah. Mungkin dia tahu kalau main ancam malah membahayakan diri sendiri.
Di minggu ke-2 puasa, G pernah keliling ruangan, mengajak salaman minta maaf dengan para staf. Saya tidak ketemu karena sedang salat.
Bagaimana sosok G?
Setahu saya, dia sudah merintis karir di BPN sejak lama. Dengan pembawaannya, banyak yang mengira dia angkuh. Mungkin begitu kalau orang pintar dan punya gelar akademis tinggi, ya? Sebagai atasan, G termasuk tegas. Jelas saya syok dengan kejadian ini karena sebagai atasan dan direktur, dia itu panutan. Banyak teman yang enggak percaya dia berlaku cabul karena track record-nya oke banget. Karena masalah ini pula, banyak orang di kantor jadi tidak respek dengannya.
Setahu Anda, G sudah berkeluarga?
Ya, punya tiga anak, semuanya laki-laki. Istrinya ibu rumah tangga. Hebat istrinya, kuat sekali menghadapi kasus ini. Enggak terdengar terkejut dengan kelakuan suaminya. Malah sepertinya sudah biasa.
Saya tahu karena AIF pernah ditelepon istri G, dibilang agar meng-cover pencabulan itu karena suami AN pernah mendatangi rumah G untuk menyelesaikan masalah ini.
Bagaimana perlakuan G terhadap Anda?
Dia akrab dengan beberapa staf andalannya. Dalam arti, kami dibimbing secara pekerjaan karena tak banyak yang bisa mengikuti prinsip kerja orang pintar seperti G. Dia juga suka guyon dengan staf yang dia kenal baik. Tapi, bukan berarti bisa seenaknya bercanda. Dia pikir, karena dekat, kami tidak akan "teriak" dengan kelakuannya. Saya, kan, juga S2 Hukum, jadi tahulah bagaimana harus bersikap ke direktur. Tahu betul kapan waktunya bercanda dan serius. Terlebih setelah kasus ini.
Kenapa akhirnya menempuh jalur hukum?
Karena tak juga ada tanggapan dari instansi tempat kami bekerja. Malah, kami hanya dipanggil beberapa atasan, disuruh sabar dan meredam emosi agar tak maju ke muka hukum. Tapi G masih aktif bekerja setelah Lebaran, padahal dia sudah janji akan mengundurkan diri.
G juga tidak membahas masalah itu lebih lanjut, apalagi meminta maaf kepada kami pasca Lebaran. Kalau melihat cara dia melakukan pelecehan, sepertinya sudah biasa. Akhirnya kami bertiga sepakat menempuh jalur hukum, didampingi pengacara, melaporkan G ke Polda Metro Jaya,Senin (12/9). Kami juga menyertakan video untuk jadi bukti dalam proses hukum. Setidaknya, bisa menjadi petunjuk dan ada saksi yang menyaksikan pengakuan G di video itu.
Setelah kejadian 'labrak' itu, kami juga mengadu ke Komnas Perempuan, LBH APIK, dan Yayasan PULIH. Kami juga ke psikolog rujukan dari mereka.
Bagaimana dengan reaksi di lingkungan kerja?
Teman-teman kantor dan beberapa atasan yang tahu kasus ini justru menyemangati agar kami keep fighting. Syukurlah masih ada dukungan moral dari mereka. Tidak ada yang berani mencemooh kami karena sebagai perempuan, kami tak pernah "memancing" pelecehan ini terjadi. Jadi, mereka tidak menyalahkan kami.
Tapi, untuk bertemu G di kantor, rasanya sungguh tidak nyaman. Melewati ruangannya saja enggan. Setelah ramai diberitakan media, dia masih tetap ke kantor seperti biasa. Saya pernah bertemu dia di tangga, tapi dia tak berani menyapa. Padahal, biasanya dulu selalu menyapa.
Apa harapan Anda dengan melaporkan G ke pihak berwajib?
Saya tidak mau ada korban-korban kasus serupa. Menyedihkan kalau kami perempuan malah ditindas, dipaksa menutupi kasus pelecehan yang dialami. Ini akan jadi beban seumur hidup.
Meski melelahkan, namanya juga perjuangan, saya berusaha sabar dan tawakal. Semoga proses hukum berjalan lancar. Lebih cepat akan semakin baik supaya para perempuan berani bilang "Tidak!" atas pelecehan yang dialami.
Ade Ryani / bersambung
KOMENTAR