Sebetulnya sejak awal saya tak setuju Ninit jadi TKW. Untuk apa jauh-jauh pergi ke Saudi kalau cuma jadi pembantu? Jadi pembantu, mah, di Jakarta juga banyak yang perlu. Bahkan sepupunya banyak yang mau mempekerjakan Ninit jadi pembantu. Saya juga sudah berkali-kali mengingatkan, jadi TKW paling banter hanya bisa bikin rumah. Bahkan yang berkali-kali ke Saudi juga tidak ada "jejaknya".
Entah karena kemauan yang keras ingin mengubah nasib atau karena bujukan sponsornya yang bernama Teni, awal puasa dua tahun lalu Ninit nekat kabur ketika saya sedang di Ciledug, Jakarta. Fauzi, anak bungsu Ninit, dititipkan ke Siti adiknya. Begitu saya pulang dan dapat kabar Ninit pergi, saya langsung menghubungi Teni yang tinggal di Pasir Jambu, Ciwidey. Dari wanita ini, saya dapat alamat penampungan TKW di Kampung Rambutan, Jakarta. Ternyata alamat itu fiktif. Dua hari kemudian, Ninit telepon, katanya tinggal di Condet, di rumah Ibu Mona. Saya buru-buru nyusul ke sana, diantar Nurdin, adik saya.
Ninit tak mau diajak pulang. Alasannya, sudah dikontrak, dibibuatkan paspor, dan sudah siap diberangkatkan. Apalagi, tambahnya, saat itu ia harus menggantikan TKW yang sudah habis masa kontraknya. Dia benar-benar enggak bisa dilarang lagi. Ya, sudah, dengan berat hati saya kasih izin.
Dua hari kemudian, saat dia mau berangkat, kami ketemu lagi. Waktu mau pulang, saya minta surat kontrak kerja Ninit ke orang yang mengantar Ninit ke bandara supaya tahu PT mana yang memberangkatkan anak saya. Namun sampai saya pulang, dia belum bisa memberikan surat kontrak kerja Ninit. Alasannya, harus mengurus dulu ke PT.
Cuma Janji
Tiga bulan berlalu, suatu hari Ninit telepon dari Saudi. Katanya, kondisinya sehat, majikannya baik, dan dia betah di sana. Tapi ketika telepon saya serahkan ke adiknya, cerita Ninit jadi beda. Dia mengaku majikannya galak, bahkan baru saja ditempeleng si majikan. Dari adiknya juga saya baru tahu, ternyata Ninit tidak jadi pembantu melainkan mengurus ternak di luar kota. Saya heran, kok, anak saya malah jadi gembala? Tempat kerjanya juga jauh, katanya. Perasaan saya jadi enggak enak sekali setelah mendengar semua itu.
Esoknya saya langsung menemui Bu Mona di Condet supaya ia berbuat sesuatu. Ternyata Bu Mona sedang di kantor. Di kantor itu, saya ditemui Herman, anak Bu Mona. Setelah saya ceritakan kondisi Ninit, dia janji akan mencari tahu PT yang memberangkatkan Ninit. Katanya, bukan PT milik ibunya yang memberangkatkan anak saya. Dia juga janji akan mengurus kontrak kerja Ninit. Tapi sampai sebulan lewat, enggak ada kabar dari Herman.
Malah Ninit yang menghubungi kami. Kali ini dia cerita, sudah pindah majikan. Saya bingung, kan, seharusnya kontraknya dua tahun? Kok, baru enam bulan sudah dipindah? Seperti budak belian saja. Saya minta Ninit kabur, cari bantuan polisi atau kedutaan. Dia menjawab, enggak sanggup kabur, minta doa saja.
Panik, saya kembali ke kantor Bu Mona dan akhirnya dapat alamat PT Harco. Ternyata Syarif, yang bertanggung jawab memberangkatkan Ninit, sudah tak ada. Sekarang yang mengurus namanya Wulan. Jelas saya tidak mau tahu, pokoknya mereka harus tanggung jawab. Akhirnya, entah benar atau tidak, di depan saya Bu Wulan tampak ngobrol lewat telepon dengan seseorang. Katanya, ia bicara dengan majikan Ninit dan anak saya sehat, baik-baik saja. Anehnya saya enggak bisa disambungkan dengan Ninit dengan alasan majikan sedang di luar rumah.
Dari Bu Wulan pula saya dapat info, Ninit kerja di Sayl, sebuah desa di wilayah Mekkah. "Sudah, Bapak tenang saja. Nanti saya kasih kabar lagi kalau ada." Saya juga diberi alamat dan nomor telepon Ninit di Sayl. "Tapi enggak usah hubungi Ninit, nanti majikannya malah marah," begitu pesannya.
Setelah beberapa bulan kerja di Sayl, Ninit kembali telepon saya. Kali ini kabar yang disampaikan makin parah. Ia mengaku kurus kering. Ibaratnya, tinggal tulang dan kulit. Padahal waktu pergi dia gemuk sekali. Ninit juga mengaku sering dipukuli. Di rumah itu, ada enam orang dan seorang bayi. Kalau bikin salah sedikit saja, Ninit cerita sering dikeroyok majikan dan saudara-saudaranya. Di akhir telepon, Ninit titip dua anaknya, Wandi (7) dan Fauzi (5). "Siapa tahu saya enggak bisa ketemu anak-anak lagi," katanya. Duh... dada saya sesak mendengarnya.
Hari itu juga saya ke PT Harco, minta Ninit segera dipulangkan, apa pun yang terjadi. Tapi pihak PT hanya berjanji mengurus tanpa memberi kepastian dan jalan keluar. Saya bingung sekali. Anak saya sepertinya sudah berada di ujung kematian, tetapi tidak ada yang bisa menolong. Di luar kantor itu, saat duduk bengong sendirian, seseorang menghampiri dan menyarankan agar saya lapor saja ke BNP2 (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan) TKI.
Tanpa tunggu waktu, saya langsung stop taksi, menuju kantor BNP2TKI di kawasan Pancoran, Jakarta. Di sana saya diminta membuat laporan. Pegawainya juga sudah mengecek di komputer, ternyata nama anak saya ada. Saya sedikit lega dan berharap pihak BNP2TKI bisa memulangkan segera memulangkan Ninit.
Selain itu, saya juga sudah minta adik saya yang jadi TKW di Saudi untuk mencari kabar Ninit. Ternyata, ketika menelepon Ninit, adik saya malah diancam majikan Ninit dan tidak boleh menghubungi lagi. Saya makin panik.
Sukrisna / bersambung
KOMENTAR