Sate Keroncong Jatinegara Syahdu Diiringi Musik Cak
"Di bawah sinar bulan purnama/Air laut berkilauan//Berayun-ayun ombak mengalun/Ke pantai sendau gurauan..."
Tembang keroncong berjudul Di Bawah Sinar Bulan Purnama mengalun merdu dibawakan oleh kelompok Irama Keroncong Rindu Kasih. Orkes keroncong yang dikomandani Suwito itu mengiringi para tamu yang menikmati hidangan di warung sate di kawasan Jatinegara, persis di sebelah Polresta Jakarta Timur. Karena menikmati sate sambil mendengarkan keroncong, warung sate itu lebih dikenal dengan nama Sate Keroncong.
"Mereka tiap hari main di sini. Kalau pas enggak ada, berarti mereka sedang ada tanggapan," ujar Sigit (34), yang ikut mengelola warung.
Siang itu warung dipadati pengunjung. Mereka menikmati menu trilogi yang disediakan, yaitu sate kambing, tongseng, dan gule. Harga per porsi masih oke untuk ukuran kantong, masing-masing Rp 34 ribu, Rp 27 ribu, dan Rp 25 ribu. Sementara mobil-mobil diparkir di pinggir jalan, para tamu santai menyantap hidangan di warung yang terletak di mulut gang itu.
Perintis warung itu adalah Noto Sukirno yang berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Ia sudah belasan tahun jualan di sana. Enam tahun terakhir, Irama Keroncong Rindu Kasih rutin main. "Sebenarnya, kami dengan mereka tak ada hubungan apa-apa. Saat itu, mereka izin untuk main di sini. Pak Noto setuju saja. Malah saling menguntungkan. Banyak warung sate di Jakarta, tapi justru kehadiran mereka membuat kami jadi berbeda," lanjut Sigit.
Sate keroncong, menurut Sigit, banyak peminatnya. Hari-hari biasa Noto butuh 60 kg daging. Sekilo bisa menjadi 35 tusuk dengan irisan daging cukup besar. "Kami memilih daging kambing muda. Rasanya dijamin empuk. Kami menyajikannya dengan bumbu kecap," kata Sigit, keponakan Noto yang juga juru masak tongseng.
Menurut Sigit, warung buka jam 09.00-20.00. Namun, untuk hari Sabtu dan Minggu, bisa tutup lebih cepat meski stok daging sudah ditambah. Larisnya warung juga jadi berkah bagi Suwito. "Banyak tamu yang nyawer. Tentu, kami tidak memaksa," kata Suwito yang mengaku awalnya ngamen.
Dengan main di warung Sate Keroncong, kehadiran Rindu Kasih makin dikenali. "Pencinta keroncong lebih gampang menghubungi kami. Setidaknya dalam sebulan, kami 3-4 kali menerima tanggapan. Mulai acara keluarga sampai hajatan. Bahkan, semasa Gus Dur masih jadi presiden, kami sering main di hadapan beliau. Bukan di Istana Negara, tapi di rumah Pak Yen, pengusaha Belanda yang jadi sahabatnya Gus Dur."
Tiap tanggal 6 Juni, mereka juga rutin bermain di Monumen Proklamasi acara haul Bung Karno. "Senang bisa main di hadapan keluarga Bung Karno. Oh ya, kalau Pak Bondan Winarno ada acara kuliner, kami juga sering diundang main," kata Suwito yang memegang alat musik cak. Menyantap sate dengan iringan musik keroncong, memang rasanya lebih mak nyus.
Selain di warung sate Jatinegara, penikmat keroncong juga kerap menikmati makan siang diiringi musik jenis ini di Warung Keroncong Gaul (WKG). Datang saja ke Jl TB Simatupang Raya, Lapangan Golf RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Tiap Selasa-Jumat mulai jam 13.30-22.00 pengunjung dapat menyaksikan live music keroncong. Pemiliknya Tuti Mariyati dan J. Sarwono, S.H. Tuti sendiri kebetulan memang seorang penyanyi keroncong.
Awal berdirinya WKG ketika pasangan ini mengadakan syukuran di restoran mereka yang mulanya bernama Restoran Ikan Bakar Fatmawati. Di acara itu, grup keroncong milik mereka menghibur pengunjung. Ternyata responsnya bagus, hingga mereka pun mengubah konsep restoran ikan bakar menjadi WGK. "Jadi, pengunjung yang datang bisa makan sambil menikmati live keroncong," jelas Ny. Bambang, pengelola WKG.
Kenapa disebut gaul, lanjut ibu dua anak ini, karena biasanya musik keroncong identik untuk orangtua. "Nah, di WKG keroncong cocok buat siapa saja, tidak hanya untuk manula. Maksudnya agar anak-anak muda sekarang juga menyukai musik keroncong dengan lagu apa saja. Lagu pop, jazz, dangdut bisa dinyanyikan dengan irama keroncong. Tujuannya, melestarikan musik keroncong yang penggemarnya makin berkurang dan identik dengan orang tua."
Rupanya konsep ini berhasil. Mereka yang datang ke WKG tak hanya yang berusia 50 tahun ke atas, tapi juga anak muda. Makanya, di WKG keroncong dimunculkan kembali. "Kalau orangtua, biasanya pesan lagu-lagu zaman dulu seperti halnya acara Tembang Kenangan," papar Ny. Bambang. Bagus dan Rini, penyanyi tetap WKG juga bisa melayani request lagu dari pengunjung. "Bahkan pengunjung juga boleh nyanyi sendiri di panggung tak peduli suaranya bagus atau jelek. Yang penting senang."
Tadinya, live music hanya seminggu sekali diadakan, tiap Jumat dimulai jam 18.00. Rupanya permintaan pengunjung makin banyak sehingga diadakan seminggu dua kali dan jamnya pun dimajukan seusai makan siang. "Karena jam makan siang di sini ramai dan pengunjung senang dihibur dengan live music," lanjut Ny. Bambang yang mengaku WKG juga kerap didatangi komunitas penggemar keroncong. Mereka berdatangan dari berbagai tempat, seperti Bekasi, Depok, dan Kebon Jeruk.
Namun, suguhan musik keroncong bukan satu-satunya andalan. Menu yang disajikan pun menggugah selera. Bebek adalah makanan unggulan, mulai dari Bebek Goreng Kremes, Bebek Saos Padang dan Bebek Penyet yang dipatok dengan harga berkisar Rp 17-20 ribu. sementara Gurame Asam Manis sekitar Rp 70 ribu, tergantung besar kecilnya ikan. "Tak kalah enaknya adalah Jus Brekele, minuman kesehatan terdiri dari sayur dan buah-buahan yang harganya Rp 12 ribu."
Kendala yang biasanya dihadapi, kata Ny. Bambang, adalah saat menghadapi tamu yang datang tanpa memesan apa-apa. "Mereka duduk di WKG dari pagi sampai malam. Kalaupun pesan paling hanya air putih atau teh manis, ha ha ha..."
Henry, Noverita / bersambung
KOMENTAR