Kisah sebelumnya beredar tentang kepergian Aisha ke Somalia, memang menegangkan tak ubahnya seperti sebuah sinetron. Ibu tiga anak yang mengaku paspornya tak keluar karena baru ganti nama dari Caroline Ruhning Tyas Sasanti menjadi Aisha Wardhana setelah menjadi mualaf itu, konon berangkat ke Somalia atas usaha sendiri. Sebelumnya, Aisha memang akan diberangkatkan ke Somalia oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT), LSM yang sejak lama peduli pada kegiatan kemanusiaan.
Yang terjadi selanjutnya adalah drama yang berlangsung begitu cepat. Dalam hitungan hari, Aisha yang diberitakan diculik dan ditembak di tempat nun jauh di sana, sudah berada kembali di Indonesia dalam keadaan segar bugar. Padahal, Menlu, Kedutaan Besar, dan jajaran elit politik sudah pontang-panting melacak keberadaannya. Simpati pun sudah terlanjur membanjir di Twitter mendoakan keselamatannya.
Semua ingar-bingar ini pertama kali muncul dari sebuah akun Twitter bernama @harintovardhan yang secara intens meng-update perkembangan soal Aisha. Nama Bustanul Arifin atau yang lebih dikenal dengan julukan Bokir, jadi terbawa-bawa karena pria asal Brebes ini pada awalnya mengaku sebagai suami Aisha. Meski, sama seperti Aisha, belakangan Bokir meralat pernyataan ini. Sementara itu, setelah kontroversi mencuat, akun @harintovardhan dihapus oleh pemiliknya.
Serta-merta, Aisha dituding telah melakukan kebohongan publik. Diberondong pertanyaan oleh wartawan dan sejumlah pihak, Aisha malah berujar, "Baca saja di Tabloid NOVA." Alhasil, orang pun bersyakwasangka, Aisha hanya mau bicara pada NOVA karena diberi imbalan. Dugaan yang jelas sama sekali tak berdasar karena entah kenapa ia hanya mau berbicara panjang lebar kepada NOVA sejak sebelum masalah ini jadi ramai seperti sekarang ini.
Berikut kutipan wawancara dengan Aisha yang dirangkum dari sejumlah percakapan.
Benar Anda pergi ke Somalia?
Untuk pertama kalinya saya ke Somalia pada 26 Agustus atas biaya dan akses sendiri. Saya tiba di Kenya tanggal 31 Agustus. Saat di Nairobi menuju Mogadishu, ada perbatasan Garissa. Saya mengontak relawan ACT yang ada di sana tapi terkendala sinyal. Ketika akan memasuki wilayah itu sore hari, saya diikuti enam orang tentara. Karena tahu jadi target penculikan, lalu saya titipkan barang-barang, termasuk Blackberry pada guide saya, Charles Etoundi. Saya minta dia menghubungi suami saya, Bustanul.
Saya ditangkap, mengalami luka memar di betis dan kepala, juga ditembak di bahu kiri bagian belakang (Aisha lantas memperlihatkan bekas luka tembak yang dimaksud). Saya tidak sadar ketika dibawa, lalu tiba di Rwanda selama lima hari itu. Perlakuan penculik tetap manusiawi. Saya jadi target karena menggunakan paspor nama nonmuslim (paspor yang digunakannya, menurut Aisha, bukan atas nama Aisha Wardhana atau Caroline Ruhning Tyas Sasanti, namun nama lain yang tak mau ia sebutkan untuk sejumlah alasan).
Charles tidak mereka izinkan ikut saya. Pikiran saya saat itu hanya ingin secepatnya masuk Mogadishu. Setelah kejadian itu saya lalu dibawa ke Johanesburg, Qatar, kemudian ke Indonesia. Tiba selepas Maghrib, Selasa (6/9).
Siapa yang membantu kembali ke Indonesia?
Teman-teman relawan dari kelompok berbeda yang tidak bisa saya sebutkan detailnya. Charles mengabari Bustanul namun tak ada respons. Charles lalu dihubungi pemuda setempat, Yonde, yang mengabarkan saya masih hidup.
Siapa @harintovardhan?
Teman paduan suara saat SMU. Dia bekerja sebagai pilot kemanusiaan di Johanesburg. Dia melihat saya lalu menghubungi Dyta, anak pertama saya. Dari dia pula tersebar berita saya tertembak yang akhirnya ramai di Twitter. Setelah itu, Bustanul baru bereaksi dan berita makin tersebar luas.
Benarkah Anda seorang dokter?
Saya kuliah kedokteran (bedah plastik) di Jepang. Titel dokter yang saya punya bukan untuk praktik komersial di RS, melainkan untuk menolong masyarakat kecil dan merekonstruksi wajah relawan yang membutuhkan. Atas pilihan pribadi, saya juga tidak mendaftarkan diri di IDI maupun PERAPI.
Melalui Twitter dan bertemu sejak jadi relawan Merapi. Pria 40 tahun ini smart. Dari perkenalan dan kedekatan yang berlangsung, kami menikah siri 12 Februari 2011. Tapi, ada alasan politis di balik hubungan kami. Bustanul ingin mengetahui tokoh di balik akun Twitter @benny_israel. Karena tak mendapat informasi yang jelas, 26 Februari 2011, Bustanul pulang ke Brebes. Tapi, hubungan kami tetap intens.
Bustanul juga sempat tinggal di rumah saya di Resinda, Karawang. Saya juga kerap datang ke Brebes dua kali sebulan dan pernah diminta segera menikah oleh ibunya Bustanul. Ketika berpamitan akan ke Somalia, Bustanul berjanji akan menikahi saya sebelum berangkat. Tapi Bustanul lebih memilih jadi pengecut. Meski hamil enam bulan, saya tak pernah menuntut dinikahinya. Bustanul juga dekat dengan ketiga anak saya. Ia dipanggil Abi (ayah, Red.). Anak-anak saya kecewa setelah semua ini terjadi.
Make It Easy
Setelah kontroversi merebak, Aisha menuai kecaman banyak pihak. Karena menolak menunjukkan bukti, ia disebut pembohong. Jumat (9/9) lalu, rumahnya didatangi tim kepolisian dari Polsek Telukjambe Karawang atas panggilan warga yang menuntut Aisha mengungkapkan identitas yang sebenarnya. Dalam kerumunan terdapat drg. Nanik Jodjana dari Dinas Kesehatan Karawang dan dr. Dwi Susilo dari Ikatan Dokter Indonesia Kabupaten Karawang. Kepada mereka Aisha akhirnya mengaku, dia bukan dokter.
Berikut wawancara dengan Aisha setelah ia mengaku bukan dokter.
Mengapa sebelumnya mengaku sebagai dokter?
Awalnya di Twitter ada yang memanggil saya dengan sebutan "Dok" dan saya tidak menyanggah panggilan itu. Saya mengakui pada Kanit Resintel Polsek Telukjambe dan dr. Dwi dari IDI, kalau saya bukan dokter. Selesai perkara.
Anda tak takut dituntut karena telah membohongi publik?
Saya siap dimintai keterangan. Memang, apa yang menjadi kerugian mereka? Malah saya yang dirugikan. Nama, alamat, nomor ponsel saya disebarluaskan oleh Bustanul. Kalau Bustanul tahu sejak awal saya bohong, kenapa dia menimpali terus dengan keterangan yang berbeda-beda?
Apa sebenarnya motivasi Anda?
Saya memang bohong karena Bustanul yang pertama kali membohongi saya dengan niatnya mendekati saya. Saya jengkel karena dia kini tak peduli lagi sama saya.
Hanya itu saja alasannya?
Iya. Make it easy saja. Memang begitu!
Ada yang ingin Anda sampaikan kepada publik?
Saya minta maaf atas semua kesimpangsiuran berita. Terlalu banyak pihak sudah bicara sehingga esensi pokok kasus saya menyimpang. Saya memilih mengatakan saya bukan seseorang yang pernah berjuang untuk Somalia. Saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa tanpa pekerjaan yang menyintai perjuangan kemanusiaan.
Siapa saya, tidaklah penting lagi. Perjuangan kemanusiaan untuk Somalia dan negara-negara dalam konflik jauh lebih penting. Hubungan pribadi saya dengan siapa pun tidak perlu diumbar karena bukan hal penting dalam isu kemanusiaan. Media yang tertarik pada hubungan personal saya dengan siapa pun, sudah membuat perjuangan rekan-rekan relawan jadi tidak berharga.
Sekali lagi, saya hanya perempuan biasa yang menyintai perjuangan kemanusiaan.
Ade Ryani/ bersambung
KOMENTAR