Selain Hj. Nihayatun, di Tanggulangin, Sidoarjo, ada perajin tas lain yang juga mengandalkan bahan baku serupa, yakni kulit. Hanya saja, tas yang diproduksi Mochamad Roni Yudianto (27) dengan label Le Choir ini tak menggunakan kulit limbah, melainkan bahan kulit baru berkualitas. Agar penampilan kulitnya makin menarik dan unik, ia kombinasikan dengan anyaman bambu.
"Selain membuat tas-tas berbentuk standar berbahan kulit atau imitasi, produk andalan saya saat ini adalah tas yang saya kombinasi dengan sesek (anyaman bambu)," papar Roni. Menurut Roni, tas yang dipadukan dengan anyaman bambu ini terlihat lebih etnik. Namun, ia mengakui, sampai saat ini konsumen penyuka tas itu justru bukan berasal dari Jatim, melainkan lebih banyak dipesan oleh pembeli dari Jakarta bahkan luar negeri.
Roni juga mengatakan, selain tampak lebih etnik dan terlihat beda, ada satu hal lagi yang membedakan produknya dengan produk lain, yaitu tasnya nyaris tak bisa ditiru produsen Cina, yang yang saat ini barang-baranmgnya membanijiri Indonesia dan merusak harga pasaran. "Karena ini murni kerajinan tangan, jadi tak bakal mudah ditiru. Selama ini, kan, yang ditiru lebih banyak produk pabrikan," ujar Roni.
Kualitas Terbaik
Roni mulai berinovasi sekitar lima bulan silam. Awalnya, ia melihat seorang perempuan di sebuah mal yang mengenakan tas dengan bentuk dan desain bagus, terbuat dari kombinasi antara kulit dan anyaman bambu. Setiba di rumah ia langsung menyampaikan hasil pengamatannya ke mertuannya, H. Choiri, yang memang dikenal sebagai dedengkot produsen tas di Tanggulangin.
Oleh sang mertua usulnya langsung disambut baik, lalu ia diminta untuk mencari bahannya. "Saya langsung pesan bahan baku karena kebetualn tak jauh dari sini ada produsen anyaman bambu. Cuma saya minta agar garapannya lebih rapi dan bahannya dipilihkan yang terbaik," kata Roni yang ternyata pernah menjadi model.
Setelah bahan baku tersedia sang mertua yang memang jago mendesain kemudian membuat pola tas sekaligus mendesain bagian mana saja yang cocok dilapisi hiasan anyaman bambu. "Karena tidak secara keseluruhan, jadi hanya bagian-bagian terentu saja yang ditempeli sesek sebagai pemanis," papar pria yang kini tengah menanti kelahiran anak keduanya.
Seperti yang pernah dilihat sebelumnya, hasilnya memang berbeda sekali dengan tas yang biasa ia produksi. Model tas yang dibuat pun bervariasi. Tak hanya tas tangan untuk perempuan, tapi juga tas kantor pria.
Setelah mulai di pasarkan beberapa waktu lalu saat berpameran di Jakarta, ternyata peminatnya cukup banyak. Selain pembeli dari Jakarta, konsumen dari Jepang dan Eropa ikut membelinya. "Sebagai model yang masih baru, saya yakin prospeknya akan bagus," tukas Roni yang menjual tasnya seharga Rp 350-400 ribu.
Dan seiring berjalannya waktu, kualitas produksinya pun kian ditingkatkan. Sebelum dipasangi kulit, anyaman bambu terlebih dulu diolah dengan bahan kimia agar awet dan tetap tampak bagus. "Kalau tidak diolah, akan mudah berjamur bambunya," papar Roni yang mengaku pernah jadi tukang sepatu.
Roni berharap, lewat desain-desain barunya, usaha kerajinan dari Tanggulangin bisa mengairahkan lagi. Tanggulangin yang dulu sangat terkenal dengan produsen sepatunya, kemudian runtuh akibat tragedi lumpur Lapindo yang menghambat akses para pengunjung menuju tempatnya. "Tapi saya yakin, para produsen tas dan sepatu di Tanggulangin bisa menggeliat lagi, apalagi sekarang ada Pasar Wisata," kata Roni dengan nada optimis.
Gandhi Wasono M
KOMENTAR