Minggu (7/8), kondisi Lily semakin membaik meski dia belum bisa tidur terlentang karena napasnya jadi sesak. Melihat perkembangan itu, kami sempat berpikir untuk pulang. Senin (8/8) usai sahur, Lily batuk. Semakin siang, batuk dan sesak napasnya semakin menjadi. Pada saat meludah, aku melihat ada warna semu kemerahan di tisu.
Sekitar pukul 14.00 WIB, dokter kandungan kembali menyarankan agar kami mau melakukan operasi Caesar hari itu juga. Lily menolak dengan alasan anaknya masih betah berada dalam perutnya. Tak lama setelah diperiksa dokter, aku perhatikan kuku jari tangan Lily berwarna biru. Karena kuanggap tak wajar, aku laporkan hal itu pada suster. Lily kembali diperiksa. Hasil pemeriksaan itu sudah tak bisa ditawar lagi, Lily harus operasi Caesar saat itu juga!
Meski keadaan jadi sedikit panik, Lily justru terlihat tenang dan pasrah. Dalam setiap proses persiapan operasi, aku tak pernah alpa mendampingi Lily. Hanya saat operasi aku tak bisa berada di sampingnya karena dilarang dokter. Aku menunggu di luar ruang operasi.
Sore, sekitar pukul 16.35 WIB, suster ke luar ruang operasi dengan membawa ketiga bayi kami. Aku belum boleh mendekat karena Adeela, Adeena, dan Adeeva harus segera dibawa ke ruang NICU untuk dimasukkan ke inkubator.
Sama seperti ketiga bayi kami, Lily pun harus menjalani perawatan pasca operasi di ruang ICU. Karena masih sangat lemah, Lily tak bisa melihat ketiga bayi kami. Saat itu, aku masih bisa menemani Lily di ICU. Dalam hatiku muncul perasaan bahagia. Batinku, sebentar lagi semua akan segera pulih. Kami akan pulang ke rumah dan mulai membesarkan tiga bidadari kami.
Waktu berlalu dengan lambat malam itu. Sekitar pukul 19.00 WIB, seorang perawat meminta aku menuju ruang ICU. Merasa tak ada hal buruk yang menimpa Lily, aku masih tenang melangkahkan kaki ke ruang ICU. Mungkin hanya diminta tandatangan tindakan medis dan menyelesaikan administrasi saja, pikirku.
Ternyata di situ kulihat kondisi Lily turun. Usai dokter berhasil membuat Lily stabil, aku pun bisa mendekat dan memegang tangan Lily. Sambil mengelus-elus rambutnya, kubisikkan, semua akan baik-baik saja dan kami akan segera berkumpul di rumah. Sejam kemudian, aku melihat rembasan darah di tempat tidur Lily. Perawat langsung mempersiapkan prosedur transfusi darah untuk Lily. Sekitar pukul 23.30 WIB, kembali aku dipanggil ke ruang ICU. Tiba di situ, tubuh ini serasa tak bertulang. Seluruh badan gemetar demi melihat Lily dikelilingi dokter dan suster.
Aku melirik ke mesin detak jantung. Tak ada gerakan naik dan turun. Layar pun menunjukkan detak jantungnya 0. Lewat tengah malam, kondisi Lily sempat membaik, namun dengan cepat kembali memburuk. Obat yang disuntikkan oleh dokter tak membantu.
Seorang suster menghampiriku dan mengatakan Lily sudah meninggal dunia. Ya Allah! Seluruh duniaku terasa runtuh. Aku bergegas menghampiri tubuh Lily yang terbaring di tempat tidur. Kuseka wajahnya, masih sedikit hangat. Kupegang tangannya, jemarinya terasa dingin. Tak bisa kutahan, tangisku pecah saat memeluk Lily untuk terakhir kalinya. Belahan jiwaku pergi untuk selamanya.
Bantuan Berdatangan
Aku ingat benar, dokter sempat memperlihatkan hasil rontgen Lily. Di situ terlihat jantung Lily membesar. Dokter curiga Lily menderita kelainan jantung. Aku sempat merasa heran karena setahuku Lily tak punya riwayat penyakit jantung. Tapi, ya, mungkin ini yang namanya ajal.Selasa (9/8) siang, Lily dimakamkan. Aku harus berjuang menguasai emosi demi tiga buah hati kami.
KOMENTAR