Hari perkawinan ternyata tidak membahagiakanku. Usai perayaan, keluarga pulang ke rumah. Sorenya, aku minta izin suami sejenak pulang, untuk merayakan ulang tahunku secara sederhana bersama keluarga. Kuungkapkan padanya, ini sudah menjadi kebiasaanku untuk sekadar makan bakso bersama sebagai tanda syukur. Aku bersikukuh minta pulang. Namun, Jok tak mengizinkanku.
Tidak sekadar itu. Tangannya melayang ke arah wajahku. Entah kenapa ia seperti itu. Ternyata, ia sangat pemberang dan gampang main pukul. Beberapa kali pukulannya mendarat di wajahku. Dari kamar, aku mencoba minta perlindungan Bapak mertua. Ia baru menghentikan aksinya setelah aku berlindung di kamar Bapak.
Mungkin menangkap suatu firasat yang tak baik, malamnya keluargaku datang. Aku jadi bingung. Rasanya tidak mungkin menemui mereka dalam kondisi wajah babak belur. Ya, akibat pemukulan itu, wajahku sampai lebam. Tapi, tak mungkin juga aku tidak menemui mereka. Akhirnya, aku menemui keluarga, dan beralasan wajahku lebam karena jatuh terbentur.
Aku yakin, mereka tidak percaya. Tapi, aku tak menemukan alasan yang lebih baik. Yang pasti, aku begitu sedih ketika melihat Ibu menatapku dengan air mata bercucuran. Malam itu, keluargaku pulang dengan perasaan yang aku tidak tahu. Ibu hanya berpesan agar aku hati-hati menjalani rumah tangga.
Kemudian, Bapak mertua mendamaikan kami. Aku berusaha bertahan meski sejak malam pertama, aku sudah merasakan kepedihan. Apalagi, paginya Jok berubah menjadi baik lagi, seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, aku memutuskan untuk diperiksa dokter sekaligus minta visum. Ini akan menjadi bukti bila kelak terjadi sesuatu yang tidak baik dalam rumah tangga kami. Kesadaran ini muncul karena selama ini aku berkonsultasi ke LBH Seruni. Ketika aku bermasalah dengan perkawinan pertama, aku memang konsultasi ke LBH Seruni.
Berkat advokasi mereka pula, aku jadi paham hak-hak seorang istri. Makanya, aku tidak berterus terang kepada Jok, soal materi yang kudapatkan sebelum menikah. Aku pun tidak cerita punya tabungan di bank, juga punya usaha sound system. Surat-surat sertifikat rumah juga sudah kutitipkan di LBH Seruni. Apalagi sebulan setelah tinggal di rumah mertua, aku dan suami akhirnya tinggal di rumahku.
Selama ini, Jok selalu berdandan necis. Sebagai kontraktor, pagi-pagi ia sudah ke luar rumah, katanya punya beberapa proyek yang mesti digarap. Misalnya saja mengerjakan proyek jalan tol. Ia juga membawa mobil sendiri. Ia menunjukkan sikap sebagai anak mantan pejabat yang hidupnya masih mewah. Belakangan aku menemukan bukti surat, ternyata ia menyewa mobil di sebuah rental di Semarang. Rupanya ia membeli status dan hanya menghamburkan uang warisan orangtuanya.
Hari-hari berikutnya, rumah tangga kami makin tidak harmonis. Aku pun semakin paham boroknya. Ternyata, ia sering menipu dan hidupnya selalu diwarnai kebohongan. Suatu ketika, ada tamu datang ke rumah. Rupanya, menagih utang. Hari lain, ada yang meneror karena usahanya ditipu Jok. Setidaknya, aku sampai tiga kali menyelesaikan perseteruan Jok dengan relasinya secara kekeluargaan. Terkadang, aku juga mesti keluar uang. Makin lama, kebohongannya tidak bisa lagi disembunyikan lagi.
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR