Sama sekali aku tak menyangka perkawinan keduaku kandas di tengah jalan dengan cara seperti ini. Selama tiga tahun menikah dengan Jok, aku tak pernah bahagia. Ketika berkenalan dengan Jok, aku janda dengan seorang anak perempuan yang kini sudah berusia 19 tahun, sebut saja namanya Putri.
Cerai dari suami pertama dan menjadi orangtua tunggal bagi Putri, sebenarnya hidupku berkecukupan. Aku berprofesi sebagai seorang penyanyi lokal dan sering mendapat tanggapan. Tidak hanya di Semarang, bahkan sampai ke luar kota. Dari hasil menyanyi itulah, aku berhasil membangun rumah di kawasan Candisari, Semarang dan punya tabungan. Aku juga memiliki usaha penyewaan sound system.
Suatu hari di bulan Desember 2007, aku bersama sahabatku seorang pemain musik, tengah mencari kostum untuk keperluan pentas. Ketika itulah, temanku menerima telepon dari seseorang. Lalu, temanku mengajakku untuk menemui kenalannya itu di sebuah rumah makan.
Aku membiarkan mereka mengobrol, tak mau mengganggu perbincangannya. Sampai kemudian aku dan si teman melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, ponselku berdering. Dia mengaku bernama Jok dan baru saja bertemu di rumah makan. Oh, rupanya ia lelaki yang baru saja kami temui. Sempat kaget juga karena aku tak sempat berbincang dengannya, apalagi memberikan nomor kontak. Rupanya, temanku lah yang membagi nomor ponselku.
Sesampai di rumah, Jok telepon lagi. Ia banyak cerita. Mulai dari pekerjaannya sebagai kontraktor dan mengaku sebagai anak mantan pejabat di Semarang. Ia pun menceritakan, ayahnya sakit stroke. Bahkan mengungkapkan posisinya sebagai duda yang ditinggal pergi istrinya. Ia mengaku punya tiga anak. Anak keduanya mengalami cacat, pertumbuhan motoriknya terganggu. Aku tersentuh mendengar kisahnya.
Pukulan Pertama Usai Pesta
Beberapa hari kemudian, Jok benar datang ke rumahku bersama anaknya yang cacat. Wajah anaknya yang berusia 9 tahun itu begitu tampan. Anak itu tak bisa apa-apa. Dalam hati aku membatin, suatu saat kelak, aku akan membawanya berobat. Misalnya saja melakukan terapi. Aku makin luluh. Tak terasa hubunganku dengan Jok makin dekat.
Waktu berjalan, awalnya ia menunjukkan sikap yang baik. Meski perkenalanku terasa singkat, aku menerima saja lamarannya. Aku pernah diajaknya ke Pengadilan Agama untuk mengambil surat cerainya. Aku makin percaya, ia benar-benar berstatus duda. Kelak kemudian hari aku paham, surat cerai yang diambilnya itu adalah perceraiannya dengan istri pertama. Ia menikah lagi dengan istri kedua, kemudian menikahiku.
Pernah aku membaca SMS Jok, dari seorang wanita. Isinya mesra, "Sayang, nanti dijemput di mana?" Aku sempat menelepon dan wanita itu mengaku sebagai istri Jok. Tentu saja aku tidak percaya, soalnya aku melihat dengan mata kepala sendiri surat cerai Jok. Kelak aku tahu, wanita ini betul istri keduanya. Belakangan pula aku tahu, istri kedua ini mengajukan cerai terhadap Jok.
Singkat kata, karena selama ini Jok menunjukkan sikap yang baik, aku bersedia diajak menikah. Aku pun bertemu keluarganya. Bapaknya yang mantan pejabat itu, kondisinya memang sakit stroke. Bapak ingin kami cepat menikah. Kami pun memutuskan menikah pada 16 Mei 2008. Tanggal ini bertepatan dengan ulang tahunku.
Perayaan pernikahan diselenggarakan di rumah mertua di kawasan Pudak Payung, Semarang. Sebenarnya, sih, pernikahan di masyarakat Jawa, selayaknya diselenggarakan di rumah mempelai wanita. Namun, Bapak yang kondisinya sakit, meminta kami menikah di rumahnya. Saat lamaran di rumah, Bapak tak bisa datang.
Hari perkawinan ternyata tidak membahagiakanku. Usai perayaan, keluarga pulang ke rumah. Sorenya, aku minta izin suami sejenak pulang, untuk merayakan ulang tahunku secara sederhana bersama keluarga. Kuungkapkan padanya, ini sudah menjadi kebiasaanku untuk sekadar makan bakso bersama sebagai tanda syukur. Aku bersikukuh minta pulang. Namun, Jok tak mengizinkanku.
Tidak sekadar itu. Tangannya melayang ke arah wajahku. Entah kenapa ia seperti itu. Ternyata, ia sangat pemberang dan gampang main pukul. Beberapa kali pukulannya mendarat di wajahku. Dari kamar, aku mencoba minta perlindungan Bapak mertua. Ia baru menghentikan aksinya setelah aku berlindung di kamar Bapak.
Mungkin menangkap suatu firasat yang tak baik, malamnya keluargaku datang. Aku jadi bingung. Rasanya tidak mungkin menemui mereka dalam kondisi wajah babak belur. Ya, akibat pemukulan itu, wajahku sampai lebam. Tapi, tak mungkin juga aku tidak menemui mereka. Akhirnya, aku menemui keluarga, dan beralasan wajahku lebam karena jatuh terbentur.
Aku yakin, mereka tidak percaya. Tapi, aku tak menemukan alasan yang lebih baik. Yang pasti, aku begitu sedih ketika melihat Ibu menatapku dengan air mata bercucuran. Malam itu, keluargaku pulang dengan perasaan yang aku tidak tahu. Ibu hanya berpesan agar aku hati-hati menjalani rumah tangga.
Kemudian, Bapak mertua mendamaikan kami. Aku berusaha bertahan meski sejak malam pertama, aku sudah merasakan kepedihan. Apalagi, paginya Jok berubah menjadi baik lagi, seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, aku memutuskan untuk diperiksa dokter sekaligus minta visum. Ini akan menjadi bukti bila kelak terjadi sesuatu yang tidak baik dalam rumah tangga kami. Kesadaran ini muncul karena selama ini aku berkonsultasi ke LBH Seruni. Ketika aku bermasalah dengan perkawinan pertama, aku memang konsultasi ke LBH Seruni.
Berkat advokasi mereka pula, aku jadi paham hak-hak seorang istri. Makanya, aku tidak berterus terang kepada Jok, soal materi yang kudapatkan sebelum menikah. Aku pun tidak cerita punya tabungan di bank, juga punya usaha sound system. Surat-surat sertifikat rumah juga sudah kutitipkan di LBH Seruni. Apalagi sebulan setelah tinggal di rumah mertua, aku dan suami akhirnya tinggal di rumahku.
Selama ini, Jok selalu berdandan necis. Sebagai kontraktor, pagi-pagi ia sudah ke luar rumah, katanya punya beberapa proyek yang mesti digarap. Misalnya saja mengerjakan proyek jalan tol. Ia juga membawa mobil sendiri. Ia menunjukkan sikap sebagai anak mantan pejabat yang hidupnya masih mewah. Belakangan aku menemukan bukti surat, ternyata ia menyewa mobil di sebuah rental di Semarang. Rupanya ia membeli status dan hanya menghamburkan uang warisan orangtuanya.
Hari-hari berikutnya, rumah tangga kami makin tidak harmonis. Aku pun semakin paham boroknya. Ternyata, ia sering menipu dan hidupnya selalu diwarnai kebohongan. Suatu ketika, ada tamu datang ke rumah. Rupanya, menagih utang. Hari lain, ada yang meneror karena usahanya ditipu Jok. Setidaknya, aku sampai tiga kali menyelesaikan perseteruan Jok dengan relasinya secara kekeluargaan. Terkadang, aku juga mesti keluar uang. Makin lama, kebohongannya tidak bisa lagi disembunyikan lagi.
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR