Seperti anak muda pada umumnya, aku senang bergaul. Tak salah pula jika kemudian aku tertarik dan menerima cinta teman priaku. Tapi ternyata hubungan asmara yang kujalin malah membuahkan petaka.
Menginjak usia 20 tahun, hatiku tertambat pada Anj (27). Tahun 2008 itu kami bertemu pertama kalinya ketika tengah melayat di rumah sahabat SMP-ku, Sarah. Kami berdua dikenalkan oleh abang Sarah. Dua minggu pendekatan, aku dan Anj memutuskan untuk berpacaran. Saat itu Anj baru lulus kuliah dan masih menganggur. Tak masalah buatku, toh, kami juga masih dalam masa penjajakan.
Ancam Bunuh Diri
Sebulan pertama pacaran, semua terasa begitu indah. Namun setelah itu, kisah-kasih itu berubah bagai neraka bagiku. Beberapa kali aku menangkap basah Anj sembunyi-sembunyi menerima telepon dari perempuan lain. Saat aku tanya baik-baik, dia malah berlaku kasar padaku. Pernah juga aku minta putus karena tak tahan dengan kekasarannya. Baru juga terlontar kalimat putus dariku, emosi Anj langsung meninggi. Di rumahnya yang sedang kosong, ia memecahkan kaca jam dan menendang barang-barang di sekitar kami hingga hancur. Ketakutan, aku urungkan niatku berpisah.
Masalah demi masalah bukannya membuat Anj makin dewasa. Ia malah semakin posesif. Pernah aku menolak menemaninya bermain futsal karena lelah sepulang kuliah tapi ia memaksa dan menyeret kakiku hingga terjatuh. Berkali-kali aku minta putus, namun setiap kali aku memunculkan topik putus, Anj tak pernah menanggapi layaknya orang dewasa. Ia malah mengancam bunuh diri dengan pisau sambil menunjukkan tangannya yang berlumuran darah.
Segala permasalahan yang kualami dengan Anj, tak pernah sekalipun kuceritakan pada keluarga. Masalahnya, selama dua tahun pacaran, keluarga kami jadi cukup dekat. Begitu pula Mamaku, sudah sangat akrab dengan ibunda Anj. Karena kedekatan ini, aku jadi kerap dipaksa pergi bersama Anj ke acara apa pun. Kalau aku tidak ikut, Anj juga tak mau ikut, tapi ia bilang pada keluarganya bahwa akulah yang melarangnya pergi. Apalagi ia melakukan itu agar pergaulanku dengan teman-teman terbatasi. Tujuannya, agar aku terus bergantung padanya.
Sebenarnya, di balik sikap kasarnya, Anj cukup perhatian. Seminggu sekali, ia mengantar jemput aku dengan mobilnya. Rutenya seputar tempat kosku, kampusku, dan kantornya. Kadang teman-temanku juga diajak, asal uang bensin dan servis mobil ditanggung kami semua. Kasarnya, ia cukup perhitungan. Karena uang sakuku terbatas, tak jarang aku menggadaikan perhiasan dan pinjam uang ke orang lain.
Akhir tahun 2010 lalu, Anj sempat memintaku melunasi pajak mobil yang sering dipakainya untuk mengantar jemput aku. Kejadian ini ditambah dengan rasa cemburunya yang membabi buta. Semua itu semakin memicuku untuk kembali minta putus. Tak terima dengan keputusanku, Anj minta bertemu.
Aku ingat betul, hari itu tanggal 22 November 2010, ia menemuiku di kos sepulang aku kuliah. Ia masuk ke kamarku, segera menutup pintu, dan langsung menyerangku dengan kata-kata menyakitkan. Aku dibilang anak haram dan keluargaku bukanlah orang baik-baik. Aku diam saja dan berusaha agar tak terpancing emosi. Merasa tak dipedulikan, Anj malah memaksa mencium, memeluk, dan menyentuh dadaku. Kepalang kesal, aku membela diri dengan mendorong dan mencakar tangannya sambil menyuruhnya ke luar kamar.
Terbakar api cemburu akan adanya pihak ketiga, Anj memaksa melihat isi telepon genggamku. Merasa privasiku terlanggar, kami berebut telepon genggam dan bertengkar. Karena terus dikasari, aku mengancam akan menyiramnya dengan air panas. Ia cuek. Mendapat reaksi demikian, aku spontan menyiramkan gelas berisi air panas dari dispenser ke wajahnya, sambil teriak minta tolong. Ia kaget dan akhirnya ke luar kamar. Kami lantas dilerai pamanku yang kebetulan sedang berada di rumah yang letaknya dekat dengan kosku.
KOMENTAR