Suasana Perumahan Bekasi Jaya Indah (BJI), Danita, Bekasi Senin (1/8) pukul 02.00 WIB dini hari itu masih sepi. Meski demikian, beberapa penghuninya ada yang sudah terjaga. Maklum, pagi itu hari pertama sahur puasa. "Malah sebagian ada yang begadang menunggu sahur," kata Wahyu, seorang warga BJI.
Itu sebabnya ketika ada teriakan dari sebuah rumah di Jalan Mawar 9, beberapa warga langsung datang. Ya, pagi itu rumah bernomor D7 tampak terbakar. Asap hitam tebal keluar dari jendela lantai atas. Warga pun langsung membantu memadamkan api. Pasalnya, jika tak segera dipadamkan, api bisa merembet ke rumah sebelahnya.
Rumah bernomor D7 itu milik pasangan Widi Dumadiyono (59) dan Wahyuningsih (49). Selain mereka, tinggal juga anak bungsu mereka, Gadis. Sedangkan anak sulung mereka, Anggun, sudah menikah dan tinggal tak jauh dari rumah orangtuanya.
Semula, warga menduga rumah Dumadi kebakaran. Tapi sewaktu didatangi, api ternyata bersumber dari tubuh Wahyuningsih yang membara. Pelaku pembakaran itu tak lain adalah Dumadi, sang suami. "Warga akhirnya membawa korban ke RS, sementara yang lain menyerahkan pelakunya (Dumadi) ke polisi," kata Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Bekasi Kota, AKP Trimurti Rahayu. Saat ini kasus suami bakar istri ini sudah selesai diberkas. "Tinggal melimpahkan ke kejaksaan. Semua sudah lengkap," tambah Tri, Jumat (5/8) silam.
Tak Dihargai
Kejadian Senin dini hari itu adalah puncak frustasi Dumadi. Sebagai lelaki, ia merasa tak punya harga diri di hadapan istri maupun dua putrinya. "Ibarat ayam jantan, saya sudah tak punya taji lagi," kata Dumadi ketika ditemui NOVA di Ruang PPA, Polres Bekasi Kota, Jumat (5/8) lalu.
Sudah beberapa bulan belakangan ini Dumadi diusir Wahyuningsih. Ia diminta pulang ke rumah orangtunya di Depok. "Anak-anak saya juga sudah menyuruh, meski dengan kalimat halus." Gadis maupun Anggun, lanjut Dumadi, minta agar ia meninggalkan rumah daripada hidup tersiksa.
Sebagai kepala rumah tangga, tentu ia merasa tak dihargai. "Kalau saya pulang dalam kondisi seperti ini, kan, malu." Sejak dua tahun belakangan ini Dumadi memang hanya luntang-lantung di rumah. Usaha servis elektronik yang dikelola bersama seorang temannya bangkrut dan terpaksa ditutup.
Praktis semua keperluan keluarga menjadi tanggungan Wahyuningsih yang sehari-hari menjadi karyawan sebuah perusahaan suplayer BBM di Jakarta Utara. "Memang kalau enggak punya uang, saya minta ke istri. Kadang diberi, kadang juga enggak. Kalau toh diberi, selalu disertai dengan kata-kata yang menyakitkan. Tapi saya tetap bertahan."
Meski serumah, Dumadi sudah lama tidak tidur sekamar. Bahkan Wahyuningsih sudah tak pernah lagi menyediakan makanan untuknya. "Kami mengobrol juga seperlunya saja. Pokoknya kayak bukan suami istri lagi deh," tandas Dumadi. "Saya sebenarnya juga malu. Tapi mau bagaimana lagi kalau usaha tak jalan. Sementara untuk usaha lain, kan, perlu modal dan keahlian. Makanya meski batin tersiksa saya berusaha bertahan. "
Sejatinya, sejak 2004 lalu pasangan ini sudah cerai. "Saya pulang ke rumah orangtua saya di Depok," kata Dumadi. Adalah Wahyuningsih, kata Dumadi yang minta cerai. Pasalnya, saat itu ia harus pensiun dari perusahaan pakan ternak, tempatnya bekerja. "Saya harus pensiun, karena ada aturan untuk jabatan kepala seksi harus dari sarjana," kata Dumadi yang saat pensiun jabatan terakhirnya adalah kepala seksi.
Ketika sudah tak punya penghasilan itu, Wahyuningsih justru minta cerai. "Saya, sih, menuruti saja." Ketika hidup melajang, Dumadi sudah mencoba beberapa pekerjaan bersama teman-teman di Tangerang. "Yang terakhir bikin usaha servis elektronik. Usaha itu sebenarnya lumayan jalan."
Lantaran ada penghasilan, Dumadi memberanikan diri minta rujuk dengan istrinya. Ternyata diterima dengan tangan terbuka. "Tapi rupanya usaha kami tak selamanya jalan. Ketika saya kembali menganggur, istri kembali tak berkenan." Dumadi dan Wahyuningsih rujuk tahun 2007.
Sakit hati Dumadi bukan hanya karena tak dianggap oleh istri dan anaknya. Ia juga merasa dendam lantaran ia menduga sang istri punya lelaki lain. Memang, Dumadi mengaku belum pernah memergoki istrinya jalan bareng lelaki orang. "Namun, saya memergoki, dua kali dia diantar pulang seorang lelaki. Memang, sih, perginya tidak berdua, tapi dengan anak-anak. Tapi dalam hati saya merasa, mereka pasti pacaran." Anehnya ketika kecurigaan itu ditanyakan ke Wahyuningsih, jawabannya selalu mutar-mutar. "Selalu enggak jelas dan ujungnya selalu ribut," jelas Dumadi.
Jawaban dua anaknya pun senada. "Saat saya tanya apa benar ibunya sudah menikah siri, mereka jawab tidak. Saya yakin mereka itu sudah bersekongkol karena anak saya selalu dikasih uang oleh ibunya. Jadi saya dikerubut tiga pihak, istri, anak, dan menantu."
Dumadi sebenarnya ingin pisah baik-baik. Tapi ia minta syarat. "Saya maunya rumah itu dijual. Saya hanya minta Rp 100 juta." Uang itu, kata Dumadi, akan dititipkan ke teman istrinya yang main trading. "Katanya sebulan bisa menghasilkan Rp 2 juta. Nah uang itu rencananya untuk biaya hidup saya."
Tutur Dumadi, jika dirinya meninggal, istri maupun anal-anaknya baru boleh mengambil uang itu. "Rencananya dari kesepakatan itu akan kami buat perjanjian." Hanya saja harapan Dumadi itu tak disetujui istrinya. "Istri saya hanya memberi motor saja. Sementara rumah diakui milik mereka," jelas Dumadi.
Padahal rumah yang dibeli dan ditempati sejak 1993 itu adalah harta gono-gini. "Saya juga punya banyak andil membeli rumah itu. Wajar dong, saya minta bagian saat kami cerai. Uang itu juga untuk biaya hidup masa tua saya saja. Bukan untuk macam-macam," jelas Dumadi.
Sukrisna/ bersambung
KOMENTAR