Di saat kehidupan rumah tangganya di ujung tanduk, tiba-tiba pada Juni 2009, ia mendapat kiriman flash disc dari sesorang yang diterima pembantunya di rumah. Setelah dibuka, alangkah terkejutnya Tatik karena isinya berupa surat sekaligus foto-foto perempuan bernama Ani Widyastuti bersama suaminya. Di antara foto itu ada yang terlihat keduanya saling bergandengan tangan.
Semakin sakit hati, tanpa pikir panjang surat beserta foto itu kemudian diprint lalu Tatik kirimkam ke Kapolri, Irwasum, dan instansi lain di tubuh kepolisian. Tujuannya, Tatik minta perlindungan atas perilaku suaminya. Surat itu rupanya berbuntut panjang. Pada 27 Oktober 2009, ia dilaporkan Ani ke polisi. Yang membuat Tatik heran, mengapa salinan surat itu bisa jatuh ke tangan Ani, "Padahal saya tak pernah mengirim surat itu kepadanya."
Tak Ingat Anak
Meski dirinya seorang Polwan yang terbiasa bersikap tegas, namun ketika harus menghadapai kemelut di rumah tangganya, batinnya pun hancur. Yang membuat dirinya bisa tabah menghadapai cobaan ini hanyalah anak semata wayangnya. "Farel yang membuat saya tegar," ucapnya. Selain itu, teman maupun atasannya cukup mendukung dan tak ikut campur persoalan yang tengah membelitnya.
Lagi pula, menurut Tatik, rekan kerjanya, terutama sesama Polwan tahu persis perilaku suiaminya, sejak awal menikah hingga kini. "Bisa ditanyakan, teman-teman saya juga pada gereregetan begitu tahu saya diperlakukan begini," tukas Tatik.
Ia masih ingat persis bagaimana teganya suaminya terhadap dirinya. Ketika, melahirkan di Surabaya, sang suami tak mau menunggui, bahkan menjauh dari tempat tidurnya. "Sebagai istri, saya juga pengin seseekali ditemani suami, apalagi di saat bahagia," katanya dengan air mata bercucuran.
Rasa sakit hati Tatik pun semakin menjadi ketika Supriyanto tak pernah mau menjenguk buah hatinya. Batinnya semakin remuk ketika ia menghadiri sidang di PN Semarang Rabu lalu, "Dengan wajah tanpa ekpsresi, dia bukannya membelai Farel, malah bertanya siapa nama ayahnya," tutur Tatik. Mendengar itu, ia pun langsung menarik lengan anaknya, menjauhkan dari ayahnya. "Pantaskah dia bertanya seperti itu ke darah dagingnya? Lihat saja wajahnya seperti siapa! Kok, bisa-bisanya bertanya seperti itu?"
Sementara itu, kuasa hukum Tatik, Sudiman Sidabukke, menilai, kasus ini penuh kejanggalan. Seharusnya, katanya, Tatik tak bisa dibawa ke pengadilan. Sebab secara kontruksi hukum sudah cacat. "Kasus ini terlalu dipaksakana," dalih Sudiman. Contoh nyata, lanjutnya, pada awal pelaporan di tahun 2009 Tatik dijerat pasal 335 KUHP, soal perbuatan tidak menyenangkan. "Perlu diingat, unsur pasal 335 itu, antara pelaku dan korban harus saling pernah bertemu. Padahal, keduanya selama ini tidak pernah bertemu," papar Sudiman.
Merasa ada kekurangan, pada saat perkara ini disidangkan, "Sudah ada perubahan dengan penambahan pasal 310 dan 311 tentang fitnah. JIka pasal ini baru sekarang diterapkan, tentu sudah kadaluwarsa. Sebab pasal 310 dan 311 itu kadaluwarsanya enam bulan. Jadi di mata hukum, klien saya harus bebas," tegas Sudiman.
Ika Bersinergi dengan Ani
Ketika sidang berlangsung, Ika (33) datang bersama Ani. "Saya support Bu Ani agar meneruskan memproses secara hukum untuk memberi pelajaran pada Tatik, yang sudah merusak rumah tangga dan keluarga saya. Biar tak ada lagi perempuan yang jadi korban kepalsuan Tatik. Dua anak saya tak dinafkahi dan ditinggal ayahnya hanya untuk kawin siri dengan Tatik," ungkap ibu dua anak itu.
Ika mengaku bersinergi dengan Ani setelah mendengar dari temannya soal kasus yang membelit Ani akibat tuduhan Tatik. "Berbekal info teman, saya cari Bu Ani ke Semarang. Sejak bertemu, saya terus beri support dan membeberkan fakta perihal kelakuan Tatik di Lumajang."
Ika bercerita, pada 2007 Tatik pernah datang ke rumahnya tiga kali. Dua kali datang bersama teman-temannya dan sekali datang sendiri. "Dia mengaku janda satu anak. Saat datang sendiri, dia minta dijadikan istri kedua suami saya. Jelas saya menolak. Kondisi ekonomi keluarga saya belum baik. Suami saya kerjanya tak menentu. Rumah pun masih mengontrak dengan hasil kerja saya sebagai perawat bidan."
Saat Tatik minta dipoligami, lanjut Ika, dirinya tengah hamil 9 bulan. Akhirnya Ika mengultimatum suaminya saat menemukan foto Tatik berpakaian Polri ada di dompet suaminya. "Ceraikan aku dulu sebelum poligami," tegas Ika. Suryono pun saat itu mengaku hendak mengakhiri hubungannya dengan Tatik.
Namun, suatu malam suaminya mendapat SMS yang diduga Ika dari Tatik. Isi SMS-nya dinilai Ika sangat tak pantas. "Intinya ingin segera bertemu karena sudah tak kuat menahan rindu. Malam itu, suami izin mau ke rumah orangtuanya dan segera pulang. Tapi tiba-tiba dia SMS dan akan pulang subuh dan menginap di rumah teman. Sebagai istri yang sedang hamil tua, saya merasa berat ditinggal suami. Di rumah hanya ada saya dan anak yang masih kecil. Lalu saya cari dia ke rumah teman yang dimaksud, tidak ada. Saya pun ke Hotel GM. Di sana saya melihat mobil hitam milik Tatik. Resepsionis menunjukkan kamar mereka. Saya dapati mereka sedang berduaan. Tatik ngumpet di belakang pintu mengenakan pakaian tidur. Saya lihat ranjang sudah acak-acakan. Segera saya labrak Tatik dan saya tempeleng. Dia membela diri dan bilang sudah menikah siri dengan suami saya. Jelas saya kaget dan marah."
Ika lalu minta suaminya segera pulang. Tetapi, "Dia justru mengantar Tatik pulang dengan mobilnya. Katanya masih ada misi dari Tatik yang belum selesai. Saya kesal. Akhirnya suami tak pernah pulang. Saya pun menggugat cerai" Suatu kali, saat Ika berkemas dari rumah kontrakan untuk pulang ke rumah orangtuanya, ia menemukan dua tiket kereta api ke Semarang atas nama suaminya. "Saya tak tahu apakah mantan suami saya waktu itu diperalat Tatik untuk menyampaikan surat ke rumah Bu Ani."
Rini Sulistyati, Gandhi Wasono M
KOMENTAR