Awalnya kami menyediakan nasi kucing seharga seribu rupiah. Selama ini, kan, nasi kucing buat kalangan bawah, kenapa tak didudukkan di tempat yang lebih mewah? Nasi kucing itu adalah nasi dengan oseng-oseng tempe dan teri. Meski sudah masuk ke House of Raminten, ya, harganya tetap Rp 1.000. Suasana di sini saya buat seperti Yogyakarta mini, ada kereta kencana dan dokar. Dalam semalam, pemasukannya sekitar Rp 1,5 juta. Di sini tidak ada makanan mahal, paling mahal Rp 20 ribu. Kami memang ingin menjangkau masyarakat banyak.
Lalu, bagaimana saya menjaga hubungan dengan karyawan? Hubungan kami seperti bapak ke anak. Saya selalu pakai Bahasa Jawa kromo (halus, Red.) tak pernah ngoko (kasar, Red.) ketika berkomunikasi dengan karyawan. Mereka tak pernah saya marahi. Bila ada salah, pasti diberi tahu tanpa marah. Ada juga bekas preman yang awalnya masuk kerja suka teriak-teriak. Lalu, saya ajari sopan santun dengan memberi contoh kepada mereka tentang tata krama dan bicara lembut. Akhirnya mereka bisa bicara sopan karena mencontoh.
Hari-hari setelah mengundurkan diri saya isi dengan berbagai kegiatan. Mulai dari olahraga bersepeda mengitari rumah. Banyak masyarakat yang mengenal saya, tapi banyak yang tak saya kenal, tapi saya sapa mereka dengan ramah.
Saya berpikir, betapa merananya bila sepanjang hidup harus terus bekerja. Kini, hidup saya untuk ketoprak, kursus tari kuno tiap Selasa, hari Jumat kursus nembang, atau memberikan kursus ke ibu-ibu tanpa dipungut bayaran. Hal-hal yang berhubungan dengan Mirota sudah tak saya urus lagi, kecuali ada hal mendesak. Sebenarnya untuk tanda tangan ke bank saja, saya sudah malas. Tapi, kan, masih nama saya yang dipakai. Ha ha ha...
Pengontrolan memang kadang masih saya lakukan ke Mirota. Bila saya datang, selalu memakai baju kebesaran, hitam dan batik. Sudah dua tahun saya memakai atasan hitam dengan bawahan kain atau jarik. Saya senang batik dan itulah ciri khas saya. Meski ada juga yang heran melihatnya, tapi ini hak saya, terserah orang mau bilang apa.
Bisa dihitung jari kapan saya pakai celana kain, itu pun hanya satu warna, hitam. Dipakainya pun pas acara tertentu saja, ada pesta atau ke kantor pajak. Saya termasuk orang yang dapat penghargaan dari kantor pajak, lho, karena membayar pajak pribadi dengan tertib.
Kini, saya tinggal menikmati hasil jerih payah saja. Kapan istirahatnya bila terus mengurus bisnis? Memang kerja mau beli apa, sih, samudera barangkali? Ha ha ha... Mending saya dengar musik dan menari saja.
Sebenarnya banyak yang tak suka melihat bisnis saya, tapi tak saya hiraukan. Ada yang bilang Hamzah sudah kaya, kurang apa, sih, kok, bikin House of Raminten. Begitu juga saat manggung di Mirota, penonton, kan, harus bayar Rp 10 ribu. Padahal uang itu buat dibagikan ke pemain. Kalau saya main, ya, saya juga dapat uang.
Tapi ada saja komentar miring, kurang apa, sih, Hamzah, kok, masih manggung? Ya terserah saya, wong panggung saya tak mengganggu mereka, kenapa harus dipermasalahkan? Sama halnya saat saya jadi Raminten, ada yang komentar, kok, tak malu jadi wanita. Padahal, bagi saya manggung dan ditonton orang itu ada kepuasan sendiri yang sulit dijelaskan.
(TAMAT)
Noverita K. Waldan
KOMENTAR