Bagi saya, kesuksesan berarti bisa membeli sesuatu sesuai kehendak hati. Saya tak perlu mengatakan yang muluk-muluk, apa saja yang saya inginkan. Sukses itu, jika pengin beli mobil, saya bisa beli, pengin tidur, saya bisa tidur. Meskipun untuk mencapai yang saya inginkan itu harus dengan jerih payah. Semua memang tak datang dengan sendirinya. Sewaktu muda, saya pernah pengin punya segala sesuatu, ternyata sekarang keinginan itu terkabul.
Kadang, keinginan saya bagi orang lain agak berlebihan, misalnya pengin dokar dan kereta kencana, ya, saya beli lalu saya letakkan di halaman rumah. Bukan bermaksud sombong, tapi memang saya gunakan sebagai pajangan untuk memperindah rumah. Malah banyak juga, lho, yang foto-foto di situ. Bisa dikatakan, saya sudah tak heran dengan segala kemewahan di dunia ini
Keinginan saya paling akhir adalah punya panggung, itulah obsesi saya sejak muda. Bayangkan bisa membuat pertunjukkan diterangi berbagai lampu. Akhirnya semua itu tercapai, tiap Sabtu malam ada pertunjukkan di Mirota Batik, meski tak selalu saya yang mengisi. Panggung itulah keinginan terakhir saya.
Memang, sih, pengin punya panggung yang besar. Tapi harga tanah di Yogyakarta sekarang sudah mahal. Kebetulan di lantai 3 kosong, saya ubah saja jadi ruang tunggu dan panggung. Setelah keinginan itu tercapai, saya tak ingin apa-apa lagi.
Mirota Batik yang berada di Jalan Malioboro, Yogyakarta adalah perjuangan saya dalam menangani bisnis. Jatuh bangun telah saya lalui, sampai pernah menerima tuduhan saat Mirota terbakar habis. Kini, sudah saatnya perlahan-lahan saya serahkan bisnis ke orang kepercayaan saya. Saatnya saya kini menikmati hasil bisnis, karena terus terang saya sudah capek.
Mengenang masa kecil adalah saat yang paling menyenangkan. Saya adalah bungsu dari 5 bersaudara. Sejak usia 6 tahun, Ibu, Tini Yumiati, sudah menyuruh saya latihan tari. Saya pun diikutkan grup tari dan saya menurut saja pada keinginan orangtua. Untungnya saya menyukai tari, maka saya melakukannya dengan senang hati. Malah kakak perempuan saya yang tak suka menari memilih tak meneruskan latihan lagi. Beda dengan saya, yang tetap melanjutkan latihan.
Saat pentas, Bapak, Hendro Sutikno dan Ibu ikut menonton dan bangga melihat kepiawaian saya. Meski peran saya hanya jadi kera saat pentas Ramayana. Saya masuk dalam dunia yang saya sukai. Inilah mungkin yang membuat saya punya obsesi, suatu saat nanti ingin punya panggung sendiri, dimana bisa pentas sesuai kehendak hati.
Orangtua sebenarnya tak mengurus sekolah anak-anaknya. Mereka sibuk mencari uang di sebuah perusahaan. Sebetulnya Bapak mau dipindah kerja tapi Ibu menolak, akhirnya memilih keluar dan buka usaha sendiri. Mungkin sebenarnya orangtua ingin anak-anaknya mandiri, makanya semua diserahkan ke anak-anak. Meski saya sempat mengecap bangku kuliah, tapi tak sampai selesai karena harus mencari duit.
Untungnya semua anak-anaknya punya kemauan kuat mencari uang sendiri, misalnya kakak perempuan saya jualan roti meski tadinya kuliah. Kalaupun akhirnya dia jadi sarjana ekonomi, itu karena setelah menikah memilih melanjutkan kuliah.
Begitu juga dengan saya, sempat kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jurusan Biologi. Tapi karena tak begitu pandai, saya memilih berhenti dan masuk ke Fakultas Bahasa Inggris IKIP sampai tingkat D2. Sebenarnya, ada sebabnya saya tak meneruskan kuliah. Saat itu tahun 1971, ada pembukaan pendaftaran kerja di kapal.
KOMENTAR