Keinginan saya untuk melihat dunia luar terutama luar negeri sangat kuat, sampai akhirnya memutuskan kerja di kapal. Bapak dan Ibu tak mendukung atau menolak, mereka menyerahkan semua keputusan ke saya. Pilihan saya, ya, kerja dan keliling dunia.
Yang menyedihkan, saat teman-teman saya diantar orangtuanya ke stasiun, saya sama sekali tak ada yang mengantar. Memang sedih, tapi mau bagaimana lagi, mereka punya kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Saya berharap, dengan bekerja bisa menjadi anak mandiri dan tak bergantung pada orang lain. Sampai akhirnya saya mendapatkan sponsor dan bisa bekerja di Amerika. Saya bekerja sebagai perawat meski tak punya ijazah.
Hasilnya, saya bisa menyewa apartemen dan hidup layak. Tapi lama-lama saya berpikir, harta benda itu tak ada artinya karena saya tidak dekat dengan keluarga. Ada kerinduan yang memuncak ingin bertemu mereka. Meski sudah bergelimang harta, saya selalu pengin pulang. Akhirnya, saya memutuskan kembali ke Yogyakarta tahun 1974.
Setahun setelah kepulangan saya, Bapak meninggal dunia. Mungkin memang sudah suratan, ya. Saya terpaksa meneruskan usaha Bapak, meski saat itu usia saya baru 25 tahun. Usaha yang dikelola Bapak adalah toko kelontong di Malioboro. Ibu juga sudah buka toko roti di garasi. Toko yang mereka miliki bernama Minuman dan Roti Tawar disingkat 'Mirota'. Kelak, saya mewariskan nama itu untuk toko saya, Mirota Batik, tepatnya.
Karena jiwa saya di seni, saya membuka toko batik pada 1976. Kenapa batik? Memang, secara otodidak saya juga bisa mendesain batik. Sempat juga mempunyai grup tari The Glass & Dolls. Tadinya saya memang berharap bisa hidup dari seni tari, ternyata malah merugi.
Penyebabnya tak lain karena saya terlalu memikirkan kostum yang bagus dan indah. Sayangnya yang menonton hanya sedikit, jadi pengeluaran untuk kostum-kostum mahal tak bisa tertutupi. Pernah juga punya usaha katering yang dikelola Budhe, karena saya tak jago masak. Berhubung Budhe tinggal di Purworejo, beliau harus pulang-pergi ke Yogya. Lama-lama, ya, repot.
Setelah grup tari bubar, saya konsentrasi jadi desainer dan jualan batik di Mirota, meski tempatnya kecil. Mirota Batik buka tahun 1978-an. Sekarang lebih dikenal sebagai mal. Dulu, sih, masih pertokoan Malioboro. Agar isinya lebih bervariasi, saya yang kenal dengan pemilik Danar Hadi lalu bekerjasama untuk mengisi toko. Dulu, tokonya masih kecil. Saat itu Malioboro masih sepi. Bagian utara saja masih seperti daerah hantu, belum seramai sekarang.
Untungnya saya termasuk orang yang telaten. Meski sepi pembeli, tapi tetap saya jalani dengan berbagai upaya dan usaha. Saya mendatangkan batik dari berbagai daerah dan toko, sampai akhirnya mulai dilirik orang. Dan, bicara soal suasana Jogja, ya, memang identik dengan suasana keraton. Makanya saya mendekorasi Mirota seperti keraton. Memang, konsepnya tak hanya jualan batik saja, tapi juga suasana.
Saking rajinnya, saya pernah mendapat Kalpataru sebagai pembina perajin. Saya suka membawa contoh barang ke perajin, lalu oleh mereka dibuat yang bagus, sehingga barang itu bisa dijual meski tak harus selalu dijual ke saya. Tahun 1980-an adalah saat dimana saya jarang di rumah. Kerjanya mencari perajin, sampai jauh ke pelosok daerah.
Saya memang tak berdiam diri saja selama terjun di bisnis ini, tapi menjemput bola. Meski ada juga perajin yang datang ke saya menawarkan diri. Pokoknya, saya coba membuka peluang bisnis buat orang lain. Saya datangi pameran satu ke pameran lain, di desa-desa di Jawa dan Bali. Saya selalu melihat peluang di luar. Tentu saja sekarang hal itu sudah tak saya lakukan lagi karena umur sudah semakin tua.
Mungkin di situlah kelebihan Mirota Batik, barangnya beraneka ragam dari berbagai daerah. Akhirnya, pelan-pelan pembeli tertarik, datang, dan membeli. Di Mirota, para pengunjung juga bisa melihat pembatik dari keraton yang sedang membatik kain. Tahun 2011 ini, saya dirikan juga toko oleh-oleh yang bertempat di Mirota dengan harga terjangkau.
Noverita / bersambung
KOMENTAR