Bicara soal warung makan tempo dulu di Malang rasanya tak akan lengkap jika tidak mengulas soal Warung Brintik. Warung yang sudah dibuka sejak 1942 dan berada di Jl. KH. Ahmad Dahlan, Kodya Malang itu meski terlihat sederhana, namun tetap eksis dan digemari pembeli. "Sampai saat ini, orang-orang masih setia datang ke mari untuk menikmati masakan kami," kata Hj. Maslicha Hasyim (65), generasi ketiga Warung Brintik.
Menurut ibu empat anak ini, perintis warung ini adalah ibunya, Napsiah. Kebetulan, rambut Napsiah bergelombang atau keritik, sehingga oleh pembelinya dipanggil brintik. Sehingga nama panggilan itu dijadikan nama warungnya. Setelah sang ibu meninggal dunia, warung itu dikelola oleh kakak Hj. Maslicha, Samiati (67) ,yang saat ini tinggal di Batu.
Selama kakaknya berjualan, Maslicha rajin membantu, sehingga ketika kakaknya membuka usaha sendiri di Batu pada tahun 1980, ia tidak mengalami kesulitan ketika harus melanjutkan warung sang ibu hingga saat ini.
Dulu, lanjut Maslicha, yang paling terkenal di warungnya adalah menu semur daging dan rawon. Dua menu itu terkenal kelezatannya sehingga menjadi langganan berbagai kalangan. Akan tetapi, setelah kakaknya membuat menu baru, yakni semur otot, ternyata jadi andalan banyak orang, bahkan menggeser pamor rawonnya. "Saat ini, orang yang datang ke mari pasti mencari semur otot, baru kemudian mencicipi rawon," kata Maslicha.
Menurutnya, meski sudah puluhan tahun, namun rasa masakan tidak berubah. Dengan kata lain, Maslicha tetap mempertahankan citarasa orisinalnya. Ia berusaha mempertahankan cara pengolahan sampai pemilihan bumbu berkualitas yang digunakan. Salah satu contohnya, untuk membuat semur yang lezat, ia sengaja memasaknya tak menggunakan kompor gas atau minyak, tapi pakai arang. "Ya, saya tetap menggunakan arang untuk memasaknya. Dan itu sangat berpengaruh pada kualitas rasa masakannya," ungkap Maslicha seraya menunjukkan tungku memasaknya.
Karena kelezatannya, sampai saat ini para pelanggannya tetap setia datang. Bahkan, di saat-saat tertentu ada yang sampai dibawa hingga ke luar negeri oleh pelangannya, yang kini sudah banyak hijrah ke berbagai kota dan belahan dunia. "Pernah ada yang beli dibungkus lalu dibawa ke Hong Kong," ujar Maslicha. Warung Brintik buka mulai pukul 05.00 pagi hingga pukul 17.00 sore.
Di Jl. KH. Zainul Arifin, Malang pun terdapat warung makan yang banyak dikunjungi pembeli. Warung sederhana ini bernama Warung Buk. kata "Buk" ini berasal dari Bahasa Madura yang artinya kakak perempuan. Warung ini sudah ada sejak tahun 1942, tetapi awalnya berlokasi di kawasan Pasar Besar, Kodya Malang.
Yang pertama kali merintis warung ini adalah Hj. Nuriyah, dan setelah meninggal dunia usaha warungnya dilanjutkan oleh anaknya, Mustain (35). "Sejak dulu saya selalu ikut membantu ibu, jadi ketika ibu meninggal dunia, saya bisa melanjutkannya sampai sekarang ini," kata Mustain.
Di warung ini, Mustain menjual nasi putih yang diberi dendeng manis dan dendeng kelapa. Untuk lauknya, ada empal, paru, ayam dan jeroan sapi. Sementara sayurnya, ada sayur rebung atau nangka muda khas Madura. "Saat ini, saya sudah menambah menu baru, yaitu bali tahu, bali tulang muda, rawon dan kare," kata Mustain yang warungnya paling ramai pas jam makan siang
Karena sudah dikenal sejak lama, yang menikmati masakan di warungnya bukan hanya warga Malang saja, tapi juga pelanggan yang datang dari luar kota. "Pembelinya ada yang dari Surabaya, Pasuruan, bahkan dari Jakarta. Warung Buk buka mulai pukul 06.00 sampai pukul 14.00.
KOMENTAR