Berapa lama tinggal di Selandia Baru?
Sepuluh tahun. Dari tahun 1994 hingga 2004. Sampai sekarang kedua orangtua dan satu adik saya masih tinggal di sana. Orangtua saya, tinggal di sana untuk meneruskan kuliah. Ketika kuliahnya selesai, mereka merasa betah, ya, akhirnya tinggal di sana. Saya diboyong saat usia saya baru 9 tahun. Jadi saya merasa dibesarkan di sana.
Di sana, orangtua bekerja sebagai apa?
Awalnya, kami sempat bingung, orangtua saya mau kerja apa? Terpikir bisnis kecil-kecilan, kami membuat kerajinan souvenir art, seperti yang ada di Bali. Kami buka toko di sana. Ternyata, tak seperti yang kami harapkan. Di sana lakunya juga musiman. Akhirnya, toko itu hanya sempat bertahan satu tahun.
Untuk bertahan hidup di negeri orang, sampai sekarang kedua orangtua saya jualan makanan di sana, dari sea food, kari, hingga rendang. Saya sendiri, di usia 15 tahun sudah bekerja sambil sekolah, di sebuah restoran Thailand di sana. Pekerjaan mencuci piring hingga jadi pelayan, saya jalani.
Lalu, sekolah bagaimana?
Buat saya pribadi, kreativitas menjadi sangat penting. Jika kita tidak punya kreativitas, bagaimana bisa cari jalan keluar. Untungnya, di sana, seperti SD, SMP dan SMU, saya boleh memilih subyek yang saya inginkan. Di usia 15 tahun, setara SMU, Saya ambil kelas drama dan musik. Tahun berikutnya saya pilih kelas fotografi. Ternyata, dari situ saya sudah terpikir kelak akan menjadi seorang aktor.
Ada prestasi yang diraih selama sekolah di sana?
Pernah. Ketika itu, saya ikut festival negara, yang sifatnya internasional, workshop berjudul The Young Shakespeare Company. Dari 4 ribu orang, terpilih hanya 20 orang. Dari Selandia Baru, saya salah satunya untuk diberangkatkan ke London di Globe Theater, mendapat beasiswa dan dapat ucapan selamat dari mantan perdana menteri Selandia Baru.
Ketika saya kembali ke Indonesia pada tahun 2004, pertanyaan itu cukup membingungkan saya. Tapi saya memang suka drama dan musik. Di Selandia Baru juga saya punya grup band sendiri. Pokoknya saya memang suka dunia seni. Dari dunia seni saya bisa belajar tentang filsafat, sosiologi, pokoknya belajar tentang manusia dengan kemanusiaannya. Tapi, begitu saya kembali ke Indonesia, awalnya cukup membingungkan. Saya tak punya siapa-siapa, tak punya uang, tak punya teman. Untungnya saya sempat tinggal bersama nenek, jadi alhamdulillah.
Kini, orangtua sudah tahu, Anda memilih jalan sebagai aktor?
Ha ha ha... akhirnya mereka tahu. Sebelumnya, saya juga pernah "pulang kampung" ke Selandia Baru dalam rangka promo film. Orangtua juga sempat menonton film saya, Kala.
Soal CHSB, apa scene yang terberat?
Terutama adegan berkelahi. Ketika itu take-nya jam 03.00 dini hari. Siang harinya juga dilanjutkan syuting, jadi saya merasa capek sekali. Tadinya, ketika saya datang ke Indonesia, saya tidak merokok, tapi sekarang jadi ikutan merokok. Ha ha ha... Mungkin itu berpengaruh juga ke stamina.
Tetapi, seberapa capek pun, semua itu rasanya capek nikmat. Artinya, saya kerja sungguh-sungguh. Sebelum saya datang ke lapangan (lokasi syuting, Red.) saya sudah tahu apa yang akan saya kerjakan di sana bersama teman-teman sutradara, aktor dan aktris lainnya. Jadi, ya, dibawa santai saja. Ini bagian dari seni hidup saya. Biar capek, tapi senang dan happy.
Selain adegan berkelahi, adegan ciuman dengan Carissa Putri bagaimana?
Ha ha ha...itu biasa saja, lah. Kami lakukan secara profesional. Di CHSB, saya sebagai Satrio, bukan sebagai Bayu. Jadi perasaan yang saya mainkan di film ini, ya, perasaan Satrio, bukan perasaan Bayu. Begitu juga Carissa yang memerankan sosok Tasya. Itu perasaan Tasya, bukan Carissa. Jadi, ya, harus bisa dibedakan. Kalau Bayu dan Carissa, ya, sebagai teman.
Sudah punya pacar?
Jujur, belum punya. Mau berkarya dulu lah. Saya di Indonesia sudah tujuh tahun. Sekitar dua tahun lagi, ketika saya sudah bisa mengumpulkan sejumlah uang, saya akan balik lagi ke Selandia Baru untuk belajar lagi, atau mungkin ke Australia. Di sana juga banyak teman-teman kecil saya yang pernah sama-sama tinggal di Selandia Baru.
Pernah punya pacar orang Selandia Baru?
Ya, pacaran waktu masih kecil, begitu-gitu saja. Pernah, tapi tak lama. Begitu juga ketika saya kembali ke Indonesia, sempat pacaran, tidak lama. Putus-nyambung, akhirnya betulan putus sampai sekarang.
Ada target menikah?
Saya tak punya target. Begitu juga dengan kehidupan ini. Tak ada yang mengetahui, mungkin sebelum berangkat lagi ke Selandia Baru saya sudah menikah di sini, atau mungkin saya sudah tiada. Kita juga, kan, tidak pernah tahu. Jadi saya menjalani kehidupan ini mengalir saja.
M. NIZAR
KOMENTAR