Nyaris putus asa, aku akhirnya mengirim SMS ke Mi dan Yah. Isinya, betapa hinanya Mi membuka deposito bersama suamiku. Aku mengingatkan berkali-kali, agar suami sadar dan memikirkan anak-anak.
Ternyata tak ada itikad baik dari mereka. Justru aku dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Begitu kasus ini disidangkan, aku kembali mendapat SMS yang menyatakan kegembiraan sang pengirim SMS. Ia ingin segera melihat aku dipenjara dan makan nasi bungkus. Hatiku amat sakit membacanya!
Pelaporan ini sungguh tidak adil. Bila aku dikenakan pasal 310 tentang pencemaran nama baik di depan publik, publik yang mana? Perbuatan yang kulakukan hanyalah membela diriku dan memperjuangkan hak sebagai seorang ibu dan istri. Aku juga tidak menggunakan nomor gelap saat mengirimi mereka SMS. Aku memakai nomorku yang memang sudah dikenal oleh suami.
Habis sudah rasa cintaku kepada suami. Aku ingat bagaimana saat kakakku dulu mengenalkan suami karena sama-sama kuliah di UI. Saat itu aku melihatnya sebagai sosok dewasa yang bisa membimbingku setelah menikah karena usianya 12 tahun lebih tua dariku. Ternyata aku salah. Meskipun sudah dewasa, kelakuannya masih seperti anak-anak.
Setelah menikah, kami langsung ke Papua karena ia ditugaskan di sana. Tujuh tahun di Papua, kami kembali ke Jakarta karena ibuku sakit. Kami lalu tinggal di rumah orangtuaku. Selama itu pula aku bekerja, melakukan penelitian, melanjutkan kuliah, serta mengurus anak-anak tanpa dukungan suami.
Rupanya kesibukanku itu malah membuat Yah menuduhku selingkuh dengan partner penelitian. Itu sama sekali tidak benar! Saat sidang perceraian, orang yang dituduhkan datang dan membuktikan tuduhan itu salah. Sepertinya suamiku memang sengaja menjelek-jelekkan aku agar gugatan cerai dikabulkan.
Saat ini, aku masih tinggal di rumah mertua. Sempat juga diusir tapi mau tinggal di mana lagi? Rumah kami yang dicicil dengan susah payah sampai dibantu Bapakku, surat-suratnya ada di suami. Rumah itu statusnya dikontrakkan dan uangnya diterima suami, selama 15 tahun! Tak pernah sekali pun aku diberi uang hasil kontrak rumah. Anehnya, di persidangan, suami ingin anak-anak ikut aku, padahal ia tak pernah memberi nafkah untuk mereka.
Jadi, di mana keadilan untukku dan anak-anak?
Noverita K. Waldan, SWITA A. HAPSARI
KOMENTAR