Segalanya makin menjadi jelas ketika Oktober 2008 silam, dua hari sebelum anak sulung kami berulangtahun, suami ketahuan sedang memainkan BlackBerry (BB). Tadinya aku dihalang-halangi untuk melihat BB itu. Tapi saat diberi kesempatan, aku sangat kaget karena di layar ada nama Mi. Belakangan ia mengaku, BB itu dibelinya bersama Mi karena uang suamiku tak cukup.
Jelas aku merasa aneh. Tidak mungkin seorang dokter kandungan yang penghasilannya cukup besar tidak mampu membeli BB. Kami pun bertengkar hebat. Kesal, kubanting BB tersebut. Pertengkaran itu diakhiri dengan bentakan suamiku, "Kita cerai saja!" Aku tersentak meski sudah menduga, ia memang sudah menunggu momen itu.
Setelah kejadian itu, suami keluar dari rumah. Tanpa kuketahui, diam-diam dia mengambil surat nikah kami dan mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Negeri. Alasannya, aku selingkuh dengan pria bule, pemabuk, tidak mampu mengurus anak, melalaikan keluarga, serta suka pergi dari rumah tanpa alasan jelas. Semua tuduhan itu tidak benar! Ia hanya menyebarkan berita bohong!
Begitulah, beberapa bulan setelah suami menggugat cerai, Mi juga menggugat cerai suaminya dengan memakai pengacara kami. Suamiku mengalihkan aset, mulai dari mengambil surat rumah hingga membuka deposito baru bersama Mi. Yang lebih menyakitkan, seusai mengajukan gugat cerai, mereka sepertinya semakin terang-terangan selingkuh. Email keluargaku dipakai Mi untuk kepentingan pribadi seperti melakukan chatting di malam hari. Sopir pribadiku juga dipakai suami dan Mi. Sementara itu, suami berhenti memberi nafkah sama sekali.
Minta Jemput Paksa
Aku lega karena gugatan cerai yang diajukan suami ditolak di PN. Tapi ia tak menyerah dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT). Lagi-lagi gugatan itu ditolak. Masih tak menyerah, kini kami sedang menunggu keputusan dari Mahkamah Agung. Apa alasan gugatan suamiku terus ditolak? Karena sebenarnya tidak ada apa-apa dalam rumah tangga kami, kecuali setelah Mi datang.
Berkali-kali aku minta bertemu dengan suamiku lewat SMS dan telepon, tapi tidak ada jawaban. Sebenarnya aku kasihan melihat anak-anak. Minta uang Rp 100 ribu ke bapaknya saja, harus pakai surat dari sekolah dulu, baru uangnya ditransfer. Anak sulungku sampai bilang, "Mami, aku tidak mau mengemis-ngemis!"
Suami memang pernah datang ke rumah, tapi itu bukan untuk bertemu anak-anak melainkan memutus internet dan mengambil barang-barang pribadinya. Tahun 2009, saat ia sedang di rumah, aku benar-benar frustrasi. Aku geledah badannya dan kusembunyikan kunci mobilnya agar ia mau bicara denganku. Toh ia tetap diam seribu bahasa.
Sebagai istri, aku ingin tahu apa alasannya menggugat cerai. Kalau memang mau kawin lagi, ya, bilang saja baik-baik. Aku hanya minta ia memikirkan nasib anak-anak. Jangankan dapat jawaban. Yang ada, aku dibanting sampai kepalaku terantuk pintu lemari. Kantung baju suami yang sempat robek karena kupegang, malah dibawanya ke pengadilan sebagai bukti kami sering bertengkar.
Kesal, aku langsung melaporkan suami ke polisi dengan tuduhan penganiayaan setelah pertengkaran kami itu. Yang membuatku heran, sampai sekarang prosesnya tidak berjalan. Sudah dua kali suami dipanggil polisi, tapi ia tidak pernah datang meski aku sudah minta polisi agar menjemput paksa suamiku. Padahal aku juga sudah membawa bukti teror SMS dari nomor gelap yang beberapa kali kuterima. Isinya, ancaman akan menyobek mulutku dan memenjarakanku. Entah kenapa, laporanku ditolak polisi. Aku malah disuruh mencari dulu siapa si pengirim gelap SMS itu.
Bikin Alasan Selingkuh
Nyaris putus asa, aku akhirnya mengirim SMS ke Mi dan Yah. Isinya, betapa hinanya Mi membuka deposito bersama suamiku. Aku mengingatkan berkali-kali, agar suami sadar dan memikirkan anak-anak.
Ternyata tak ada itikad baik dari mereka. Justru aku dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Begitu kasus ini disidangkan, aku kembali mendapat SMS yang menyatakan kegembiraan sang pengirim SMS. Ia ingin segera melihat aku dipenjara dan makan nasi bungkus. Hatiku amat sakit membacanya!
Pelaporan ini sungguh tidak adil. Bila aku dikenakan pasal 310 tentang pencemaran nama baik di depan publik, publik yang mana? Perbuatan yang kulakukan hanyalah membela diriku dan memperjuangkan hak sebagai seorang ibu dan istri. Aku juga tidak menggunakan nomor gelap saat mengirimi mereka SMS. Aku memakai nomorku yang memang sudah dikenal oleh suami.
Habis sudah rasa cintaku kepada suami. Aku ingat bagaimana saat kakakku dulu mengenalkan suami karena sama-sama kuliah di UI. Saat itu aku melihatnya sebagai sosok dewasa yang bisa membimbingku setelah menikah karena usianya 12 tahun lebih tua dariku. Ternyata aku salah. Meskipun sudah dewasa, kelakuannya masih seperti anak-anak.
Setelah menikah, kami langsung ke Papua karena ia ditugaskan di sana. Tujuh tahun di Papua, kami kembali ke Jakarta karena ibuku sakit. Kami lalu tinggal di rumah orangtuaku. Selama itu pula aku bekerja, melakukan penelitian, melanjutkan kuliah, serta mengurus anak-anak tanpa dukungan suami.
Rupanya kesibukanku itu malah membuat Yah menuduhku selingkuh dengan partner penelitian. Itu sama sekali tidak benar! Saat sidang perceraian, orang yang dituduhkan datang dan membuktikan tuduhan itu salah. Sepertinya suamiku memang sengaja menjelek-jelekkan aku agar gugatan cerai dikabulkan.
Saat ini, aku masih tinggal di rumah mertua. Sempat juga diusir tapi mau tinggal di mana lagi? Rumah kami yang dicicil dengan susah payah sampai dibantu Bapakku, surat-suratnya ada di suami. Rumah itu statusnya dikontrakkan dan uangnya diterima suami, selama 15 tahun! Tak pernah sekali pun aku diberi uang hasil kontrak rumah. Anehnya, di persidangan, suami ingin anak-anak ikut aku, padahal ia tak pernah memberi nafkah untuk mereka.
Jadi, di mana keadilan untukku dan anak-anak?
Noverita K. Waldan, SWITA A. HAPSARI
KOMENTAR