Sejak siang, gang kecil di Kampung Truntum, Katimban, Subang (Jabar) itu sudah dipenuhi warga. Sebagian warga duduk-duduk di teras rumah perkampungan nelayan di pesisir utara ini. Setiap kali orang asing melintas, mereka selalu bertanya. "Darsem sudah sampai mana?"
Sejak teve memberitakan Darsem akan pulang kampung, warga Trumtum sudah heboh. Halaman rumah Darsem dipasangi tenda, kursi plastik tertata rapi. Bahkan beberapa pegawai kantor Pemerintah Subang dan polisi sejak siang sudah berjaga-jaga. Semua bersiap menyambut Darsem, TKW yang dijatuhi hukum pancung di Arab Saudi karena membunuh adik majikannya, tahun 2008 lalu.
Ibu satu anak ini bebas setelah Pemerintah Indonesia membayar diyat (semacam uang ganti rugi, Red.) sebesar 2 juta real atau sekitar Rp 4,6 M seperti yang diminta keluarga korban.
Tebar Bunga
Selasa (13/7) itu, puluhan wartawan menunggu kedatangannya di bandara. Setelah dibawa ke kantor Kemenlu di Pejambon, Darsem diserahkan Menlu Marty Natalegawa ke keluarga, sempat terjadi keributan lantaran wartawan berebut mengambil gambar.
Kehebohan berlanjut di kampung halaman Darsem. Rombongan yang tiba menjelang malam, langsung dikerumuni warga. Menjelang masuk rumah, Darsem ditaburi bunga layaknya menyambut pengantin atau tamu agung. "Saya capek. Seharian belum makan. Saya pengin makan dan istirahat," kata Darsem begitu masuk rumah. Di luar, warga berdesakkan ingin melihat wajah Darsem, berebut dengan wartawan yang ingin mengambil gambar dari balik jendela kaca. Darsem sendiri memilih duduk bersama kerabatnya sambil memangku anak semata wayangnya, Muhammad Safii, yang ditinggalkannya sejak berusia 9 bulan.
Malam itu Darsem tak bisa langsung istirahat. Ia harus melayani sejumlah kerabat, tamu, dan wartawan. Bahkan, perempuan yang sudah tiga kali jadi TKW ini baru bisa makan sekitar pukul 21.00, saat banjir tamu tampak mulai surut. "Sudah lima tahun saya tak makan nasi goreng.
Selama lima tahun mendekam di Penjara Al Malaz, Darsem memang tak tak pernah menyentuh makanan Indonesia. "Pagi makan roti, siang nasi dengan lauk daging atau ayam yang enggak ada rasanya. Bosan banget, deh. Makanya saya lebih suka makan mi instan," cerita Darsem yang selama itu tidur di sel yang diisi 25-30 tahanan dari Indonesia, Pakistan, Philipina, dan lainnya.
Untuk makan di luar menu penjara, Darsem harus merogoh kocek sendiri. "Kalau mau beli, cukup menulis daftar barangnya, nanti akan diantar penjaganya." Uangnya? "Ya, dari Pemerintah Arab yang memberi tunjangan ke setiap tahanan sebesar 150 real per bulan. Uang itu juga untuk membeli sabun, odol, sampo, serta keperluan lain."
Tak banyak yang bisa dilakukan Darsem selama di penjara. "Paling mengobrol dengan teman-teman." Tapi entah mengapa, selama dipenjara Darsem lebih suka berteman dengan TKW asal Philipina. Makanya, ia pun kini fasih berbahasa Philipina. "Orang sana malah baik-baik."
Bahkan Darsem sudah punya sahabat orang Philipina bernama Sandra yang kini juga sudah bebas dan kembali kerja jadi TKW di Abu Dhabi. "Saya diajak kerja di sana. Dia yang akan mengurus visa saya. Kalau saya belum kerja, dia juga janji akan mengirim uang," papar Darsem.
Di lain waktu, diisi dengan menunggu panggilan sidang, memperpanjang paspor, dan cek sidik jari. "Barulah jika hari libur kami bisa bersenang-senang." Hari Kamis dan Jumat adalah hari libur. "Kami bisa jogetan. Ada yang menabuh gendang, ada yang nyanyi dan joget. Di kampung jarang joget, di penjara malah sering. Habis, kalau dipikirin malah jadi sedih sendiri. Ingat anak dan keluarga di rumah," kata Darsem yang selama di penjara tak tahu akan mendapat hukuman pancung dan namanya heboh diberitakan di Tanah Air.
Di tahanan, katanya, yang santer akan dihukum pancung malah dua tahanan lain, Sumartini dari NTB dan Warna asal Karawang. "Saya, sih, enggak," jelas Darsem yang tak mau menceritakan secara rinci peristiwa yang membuatnya sampai dijebloskan ke Penjara Al Malaz, Riyadh.
Darsem seakan ingin mengubur dalam-dalam masa lalu. Ia tak mau banyak bicara soal pembunuhan atas Walid Salim Asegaf, tahun 2008 lalu. "Bagaimana mau cerita, wong saya tak sadar melakukan itu." Walid, kata Darsem, adalah adik majikannya. "Kebiasaan orang sana, kalau kedua orangtua sudah meninggal, anak yang belum menikah tinggal bersama kakaknya." Walid, tuturnya, kerap menggoda dan merayu. "Dia memanggil saya Haifa dan suka bilang, maukah saya menikah dengan dia. Ya, saya tolak, wong dia enggak kerja. Kalau majikan, sih, baik. Makanya saya betah 19 bulan kerja di situ," tutur Darsem yang tugas sehari-harinya banyak, termasuk mengurus 6 anak majikannya yang masih kecil-kecil.
Suatu ketika, Darsem hendak diperkosa Walid. Jelas ia melawan sehingga akhirnya terjadilah pembunuhan itu. "Sudah... Sudah... Saya enggak bisa cerita." Jadilah ia ditahan atas tuduhan pembunuhan. "Impian saya jadi gagal lagi," katanya. Ia lalu berkisah, sudah sejak umur 15 tahun mengadu nasib sebagai TKW di Arab. Mimpi bisa membantu ekonomi keluarga, merenovasi rumah sederhana milik ayahnya di kampung nelayan, sudah menari-nari di benaknya. Apalagi banyak teman-temannya yang sukses jadi TKW.
Karena belum cukup umur, Darsem yang saat ini baru berusia 22 tahun, terpaksa menuakan umurnya. "Kebetulan badan saya bongsor, jadi tak masalah." Baru 8 bulan kerja, Darsem dipulangkan ke Indonesia gara-gara sakit dan harus dirawat di rumah sakit selama sebulan. "Saya muntah darah dan kaki tak bisa jalan. Majikan saya jelas tidak mau," kata Darsem yang mengaku tak tahu apa penyakitnya. Ia pun pulang dengan predikat di kampung sebagai 'TKW Tak Sukses'.
Sukrisna/ bersambung
KOMENTAR