Aku lahir di Bogor 6 April 1985 sebagai anak sulung tiga bersaudara. Meski termasuk keluarga yang cukup, orangtuaku, H. Misbach dan Hj. Priyanti, tak pernah memanjakanku, apalagi soal materi. Mereka mengatakan, hidup di dunia ini adalah perjuangan. Tidak ada yang instan.
Bahkan sejak kecil, untuk mendapatan sesuatu, aku harus melakukan dulu sesuatu. Misalnya ketika ingin sepeda, aku harus salat subuh sebanyak minimal tiga kali seminggu. Intinya, orangtua mendidik untuk mendapatkan sesuatu harus berjuang lebih dulu.
Bapak yang bekerja sebagai kontraktor meminta aku untuk konsentrasi ke pendidikan. Awalnya, orangtua minta aku masuk Jurusan Teknik Sipil atau Kedokteran. Namun, aku memilih masuk Ekonomi. Sejak SMA aku sudah bercita-cita, ketika jadi mahasiswa aku harus sudah mulai jadi pengusaha. Dalam bayanganku, untuk memulai usaha perlu modal Rp 10 juta. Kala itu, aku ingin berjualan ayam goreng dengan gerobak. Pikirku, dari satu gerobak nantinya akan terus berkembang.
Maka, sejak SMA di Bogor aku sudah berusaha mengumpulkan modal. Aku memegang budaya hidup hemat. Uang saku dari orangtua, selalu kusisihkan. Aku, kan, dapat uang saku Rp 10 ribu per hari, paling yang kupakai hanya Rp 2 ribu. Aku selalu bawa bekal dari rumah dan hampir tak pernah jajan.
Hunting Lomba
Di masa SMA, aku punya teman akrab yang hebat. Namanya Riyono. Ia sudah berjualan donat dengan keuntungan Rp 2,5 juta per bulan. Ia mengambil donat dari sebuah perusahaan donat dan menitipkannya di sekolah-sekolah. Wah, aku enggak mau kalah. Aku pun ikut jualan tapi tak boleh mengambil pasar yang sama dengan Riyono.
Aku masih ingat, satu kotak donat berisi 12 buah, harganya Rp 6 ribu. Pagi-pagi sekali usai salat Subuh, mengendarai sepeda motor aku menuju ke pabrik donat. Lalu, aku menitipkannya ke kantin-kantin sekolah yang belum dimasuki Riyono. Aku juga titip di tukang gorengan. Siang hari sepulang sekolah, aku kembali mendatangi sekolah-sekolah untuk mengambil uang hasil penjualan. Selama ini, dagangan lebih sering habis.
Enggak sulit, kok, titip donat di sekolah. Kebanyakan kantin mau dititipi. Tiap hari aku bisa membawa 10-15 boks donat dan bisa mendapatkan keuntungan Rp 50 ribu per hari. Kuakui, aku kalah hebat dibandingkan Riyono. Dia bisa, lho, menjual ke SMK yang semua muridnya perempuan. Aku masih malu untuk titip ke SMK. Paling top aku hanya bisa masuk 10-an sekolah, sedangkan Riyono jauh lebih banyak. Bahkan, Riyono bisa membeli sepeda motor dari keuntungan jual donat.
Aku berjualan dengan cara sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan orangtua. Namun, setelah beberapa bulan menjalankan usaha, Bapak curiga karena aku selalu berangkat pagi-pagi dan pulangnya pun terlambat. Bapak enggak marah, hanya menasihati, "Apa Bapak enggak mampu membiayai sekolah sampai kamu harus jualan donat?" tanyanya. Bapak mengatakan, aku baru boleh menjalankan usaha setelah aku mahasiswa.
Yang kutangkap, sih, Bapak haya tak mau pelajaranku terganggu. Apalagi aku sudah kelas 3 SMA, sudah mendekati ujian sekolah. Padahal aku berprinsip, aku harus seminimal mungkin tergantung pada orangtua. Jika sudah terbiasa dengan ketergantungan, selamanya akan jadi anak yang tak berdaya. Aku tetap harus berjuang sendiri.
Nasihat Bapak memang kuturuti. Namun, aku ganti strategi untuk tetap mendapatkan penghasilan. Caranya? Aku mulai hunting perlombaan untuk mendapatkan uang. Waktu itu, kan, sering ada lomba antarsiswa SMA. Pemenangnya dapat hadiah uang lumayan. Semula, aku yang siswa biasa-biasa saja, jadi semangat untuk belajar.
KOMENTAR