Aku ikut lomba Java Economic Competition yang diselenggarakan IPB. Berkat kerja kerasku, aku berhasil menang. Hadiah uangnya lumayan dan aku ditawari masuk IPB tanpa tes. Lalu, aku ikut juga Kompetisi Ekonomi untuk siswa SMA se-Jabodetabek yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi, UI. Kembali aku menang. Aku juga dapat uang dan bisa masuk FE UI tanpa tes. Jutaan rupiah kukantongi.
Tamat SMA, aku memilih masuk Fakultas Ekonomi, IPB. Pertimbangannya, aku sudah menguasai geografis Bogor. Pilihan lain masuk UI, tapi aku tidak menguasai daerahnya. Padahal, aku sudah bertekad untuk mulai usaha. Seperti yang kuceritakan, dengan modal Rp 10 juta yang sudah terkumpul, aku akan memulai usaha.
Namun, rencanaku berantakan. Aku terkena musibah yang tak perlu kuceritakan. Intinya, modal Rp 10 juta habis. Di tahun 2002 itu, aku sempat down. Meski begitu, mimpi menjadi pengusaha enggak pernah padam. Aku memulainya lagi dengan jualan sepatu. Aku melihat, mahasiswa IPB, kan, banyak yang dari keluarga berada. Mereka juga ingin tampil gaya. Nah, mereka pasar potensial.
Aku cari informasi untuk jualan sepatu merek terkenal dengan pasar teman-teman sendiri. Akhirnya, aku dapat menembus supplier sepatu dengan harga miring. Tentu aku sempat survei harga sepatu itu di pasar. Aku masih bisa menjual dengan harga miring tapi tetap dengan keuntungan lumayan. Dengan modal katalog, aku menawarkan sepatu ke teman-teman. Begitu ada pesanan, aku langsung mengambilnya ke supplier.
Hasilnya lumayan, terakhir aku berhasil menjual 7 sepatu. Sebulan aku dapat untung Rp 3 juta. Namun, aku tak lama menjual sepatu karena suatu saat pernah diberi sepatu reject dari suplier. Daripada mengecewakan pembeli, setelah sekitar delapan bulan berjalan, aku memutuskan berhenti.
Di tahun kedua kuliah, aku berubah haluan jualan minyak goreng. Di sekitar kampus IPB, kan, banyak kantin. Mereka pasti butuh minyak goreng. Kutawarkan pada mereka untuk beli minyak goreng, dengan harga lebih murah ketimbang di pasar. Tentu saja mereka mau. Sudah tidak perlu repot belanja, harganya murah pula.
Aku mengambil langsung dari pabrik seharga Rp 4.800 dan menjual Rp 5.500. Satu jerigen, aku bisa untung Rp 25 ribu. Padahal, sehari aku bisa menjual sampai setengah ton minyak, kurang lebih 30 jerigen. Langgananku sampai 30-an warung. Aku pun bisa untung Rp 150 ribu sehari. Berawal dari membawa minyak dengan sepeda motor, akhirnya bisa mengangkut dengan mobil.
Sebagai mahasiswa, apakah aku malu jadi tukang minyak goreng? Perasaan malu ada, sih, apalagi saat menggotong minyak lewat asrama mahasiswi. Namun, aku punya strategi. Untuk menyembunyikan wajah, aku pakai helm. Bahasa gaulnya, tengsin juga sih. ha ha ha...
Lama-lama, usahaku ini juga ketahuan orangtua. Apalagi aku, kan, orang yang teguh memegang komitmen. Jika aku sudah janji kepada pelanggan untuk mengantarkan minyak, hujan deras pun aku terjang. Nah, melihat semangatku, orangtua tak mampu lagi mencegah. Mereka melihat semangat dan kesungguhanku. Tapi, mereka mengajukan syarat, aku boleh berusaha tapi IP minimal harus 2,75. Selama ini, aku mampu memenuhi target.
Beberapa bulan jadi tukang minyak, aku berpikir, "Untuk mahasiswa, lebih baik usaha yang mengandalkan otak, bukan otot." Aku juga pernah mendengar pemikiran seperti ini. Selanjutnya, aku buka kursus bahasa asing. Semula, Bahasa Inggrisku enggak bagus. Tapi, aku rajin belajar untuk menguasainya. Aku bekerja sama dengan teman-teman mahasiswa yang sebelumnya pernah tinggal di luar negeri. Merekalah yang jadi pengajarnya. Sambil menjalankan usaha, aku juga terus belajar Bahasa Inggris.
Usaha ini sempat berjalan bagus, peserta kursus sampai ratusan orang. Namun, aku merasa kurang berkembang. Kelemahanku, aku single fighter. Sebab, aku mengurusi mulai marketing, pengadaan tempat, dan macam-macam seperti administrasi. Pengalaman ini merupakan sekolah entrepreneur yang betul-betul nyata. Aku belajar dari semua pengalamanku.
Aku mulai introspeksi, kenapa usahaku tak bisa berkembang. Kemungkinan besar, semua ini karena aku kurang bersyukur. Aku harus banyak beryukur. Selain itu, aku perbanyak salat istikarah. Sampai akhirnya, aku bermimpi, berada di New York. Di sekililingku ada bangunan-bangunan megah.
Ketika terbangun aku berpikir, "Mungkinkah mimpi ini jawabannya?" Ternyata, aku harus bisnis property. Tapi, bagaimana caranya seorang mahasiswa memulai bisnis seperti ini? Modalnya pun perlu miliaran rupiah
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR