Di ruang tengah rumah Sutarni (45) yang sangat sederhana di Desa Modo, Kecamatan Rengel, Tuban, masih terlihat terpal plastik tergelar di ruang tamu. Dan, masih terlihat banyak tamu berdatangan untuk mengucapkan duka cita atas meninggalnya Ngadiyono (13), putranya yang sekaligus pengemudi perahu nahas itu. "Saya tidak tahu persis kejadiannya seperti apa, karena waktu itu saya sedang mencari gabah di sawah," katanya dengan tabah.
Ibu enam anak itu mengatakan, ia tak punya dugaan ataupun pikiran macam-macam sebelumnya. Tidak ada tanda-randa anaknya yang baru tamat SD tahun ini akan pergi untuk selama-lamanya. "Saya ketemu Ngadiyono pas pagi hari sebelum saya berangkat ke sawah," kata wanita bertubuh tinggi kurus itu.
Ia mendapat kabar, setelah salah satu anaknya, Sumarningsih, menghubungi lewat ponsel temannya agar dirinya segera pulang ke rumah. Ia pun langsung bergegas pulang. "Sesampainya di rumah, saya beri tahu kalau Ngadiyono tenggelam bersama perahu yang dikemudikannya," kata Sutarni, yang sudah menjanda karena ditinggal mati suaminya, Sampurno, sejak dua tahun silam.
Begitu tahu anaknya jadi korban, Sutarni yang rumahnya berdekatan dengan tanggul Bengawan Solo itu langsung berlari menuju tepian sungai, tapi dicegah warga yang yang saat itu sudah memenuhi lokasi. "Saya baru bisa menangis di rumah sambil ditenangkan oleh tetangga dan kerabat," ucap Sutarni, yang sehari-harinya selain mencari sisa gabah juga bekerja sebagai buruh tani.
Sutarni mengakui, putranya itu memang sering menghabiskan waktunya di pinggir Sungai Bengawan Solo dan terkadang mengemudikan perahu penambangan. Padahal, anaknya itu sudah sering diingatkan agar berhati-hati ketika sedang membawa penumpang. Namun, Ngadiyono kerap berkata, "Sudahlah Mak, tidak usah dipikirkan, aku sudah bisa, kok," papar Sunarti menirukan Ngadiyono yang tangan kirinya cacat akibat terserang sakit panas semasa kecilnya.
Sutarni akhirnya tak bisa melarang, karena ia sibuk bekerja di sawah. Pagi hari sudah berangkat dan baru kembali ke rumah menjelang petang. "Ngadiyono, biasanya mengemudi perahu sepulang sekolah atau di hari libur," imbuh Sunarti
Sunarti sendiri mengaku tak tahu berapa uang yang bisa dikumpulkan Ngadiyono sebagai pengemudi perahu tambahan, yang menghubungkan antara Kabupaten Tuban dan Bojonegoro itu. tetapi, lanjutnya, Sunarti menduga anaknya menggunakan uangnya sebagai tambahan untuk membeli keperluan sekolah. "Malah belakangan ini dia mengaku tidak mau melanjutkan ke SMP, karena ingin bekerja saja. Katanya, nanti kalau uangnya sudah terkumpul banyak, mau dipakai untuk membuat rumah yang bagus," cerita Sunarti, yang saban tahun rumahnya memang menjadi langganan korban banjir Bengawan Solo.
Pengemudi asli perahu nahas yang dikemudikan Ngadiyono, Lamijan (30), mengaku, sebelum kejadian itu, sebenarnya dirinya sudah berulang kali memperingatkan Ngadiyono, agar tidak usah ikut-ikutan mengemudikan perahu. Soalnya, berbahaya dan berisiko besar. Apalagi dirinya masih anak-anak, yang baru lulus SD. "Apalagi sejak ada perahu yang tenggelam beberapa waktu lalu di Bojonegoro, saya sudah sering mengingatkan dia," kata Lamijan saat ditemui, Rabu (29/6).
Tak hanya itu, Lamijan mengaku sempat mengatakan kepada Ngadiyono, bila sekadar untuk mencari uang jajan, tak usah mengemudikan perahu, tetapi minta saja ke warung di dekat tambangan dan dirinya yang akan membayarkan. "Tapi dasar anaknya agak bandel, masih saja ikut-ikutan," papar Lamijan seraya menambahkan, perahu itu sebenarnya milik Wandi, sedangkan dirinya hanyalah karyawan.
Siang di hari nahas itu, tutur Lamijan, setelah mengambil penumpang dari Kanor menuju Modo, perahu itu kemudian ia tambatkan di tepian. Sambil menunggu penumpang, lelaki berambut gondrong yang masih ada hubungan keluarga dengan Ngadiyono itu mengaku makan siang di warung yang tak jauh dari lokasi penambangan. Ketika sedang enak-enaknya makan, tiba-tiba ia mendengar mesin perahu dihidupkan dan dijalankan menuju Kanor, sebab di sana sudah ada penumpang. Karena, sudah terbiasa melakukan hal itu, Lamijan lalu membiarkan saja Ngadiyono pergi.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika beberapa menit kemudian, ia mendengar teriakan minta tolong dari arah sungai. Lamijan pun langsung melompat dari kursi di dalam warung dan berlari menuju tepi Bengawan Solo. Ia melihat di tengah sungai perahu sudah tenggelam dan hanya terlihat penumpang yang berteriak minta pertolongan dengan kepala timbul tenggelam. Seketika itu, Lamijan langsung melompat dan berenang melintasi sungai selebar sekitar 100 meter itu untuk membantu menyelamatkan korban sebisanya. "Saya sendiri rasanya mau mati, dengan napas tersengal-sengal berkejar-kejaran dengan waktu menyelamatkan mereka," cerita Lamijan yang hanya bisa membantu menyelamatkan seorang wanita, sedangkan 10 lainnya sudah tenggelam.
Gandhi Wasono M
KOMENTAR