Setahun pertama aku masih mencari produk camilan yang potensial. Setelah itu, masih dibutuhkan waktu untuk menyesuaikan rasa camilan dengan selera masyarakat setempat, khususnya di Indonesia Timur. Aku pun mengajak para produsen bereksperimen mengolah bahan baku.
Ada sekitar 50 UKM yang kemudian menggantungkan usahanya padaku dan suami. Seringkali aku juga menginap di rumah pemilik UKM, untuk menemukan formula dan tampilan produk yang pas. Kalau rasa sudah sesuai barulah camilan diproduksi massal.
Tak tanggung-tanggung, agar produsen semangat, aku juga memodali pemilik UKM untuk memproduksi camilan dalam jumlah besar. Rasanya masih penasaran dan tak peduli jika tabungan habis. Berapa pun jumlah camilan yang diproduksi, akan kubeli untuk dipasok kembali ke berbagai daerah. Daerah dimaksud adalah toko-toko dan pasar tradisional yang menjadi pelanggan emping. Jika ada masa surut dalam penjualan, usaha para pelaku UKM tetap bisa berjalan karena camilan tak akan mengendap di gudang.
Kadang kala ada saja kualitas camilan yang tidak sesuai keinginan distributor. Kerugiannya pun harus aku yang tanggung. Bagiku ini adalah bagian dari tanggung jawab agar pemilik UKM bermotivasi tinggi menghasilkan produk yang terbaik yang akan menunjang perekonomian mereka secara mandiri.
Memodali satu UKM membutuhkan modal sekitar Rp 10-50 juta. Sale pisang dari Ciamis, misalnya, butuh modal Rp 50 juta sekali produksi. Biasanya sekali produksi menghasilkan 700 bal, dimana satu bal berisi 4-5 kg. Modal pun diberikan secara bertahap, Rp 20 juta di minggu pertama, Rp 20 juta setelah menghasikan sejumlah camilan, Rp 10 juta untuk modal terakhir. Begitu terus setiap bulannya. Nantinya dari produksi hingga distribusi, selera pasar yang akan menentukan. Untuk menampung berbagai camilan itu, aku pun lantas membuat gudang di Sidoarjo dekat rumah kami.
Untuk merek, aku dan suami juga menciptakan nama yang unik, lucu, dan mudah diingat sehingga ketika dijual ke pasar tradisional, merk tersebut akan berbeda dengan lainnya. Suatu ketika, kami berdua berkunjung ke rumah Eyang. Menurut beliau nama 'Kawanku' dianggap kurang mujur. Eyang lantas memberi saran agar diganti jadi 'Mekarsari'. Filosofinya adalah usaha akan terus mekar. Simbol bunga pun dibuat dengan mengandung arti khusus. Kelopak berjumlah 9 dianggap tertinggi dan nyaris sempurna. Tanda panah ke atas diharapkan usaha terus menanjak.
Tahun 2005, Mekarsari tambah pesat dan merambah luar pulau, Kalimantan dan Bali. Sempat kami kesulitan menembus Bali. Saat itu di Bali memang sudah ada pemain lama, ditambah nama Mekarsari belum dikenal. Kami terus atur strategi dengan masuk ke pasar-pasar tradisional yang terletak di pinggiran, seperti Karangasem dan Anyar.
Tak disangka, distributor di pasar tradisional di Denpasar terkejut melihat jenis produk camilan dari Mekarsari yang jumlahnya sangat banyak. Karena armada truk Sidoarjo-Bali tidak mencukupi pengiriman permintaan, akhirnya kami membuka satu gudang lagi di Bali. Bisa dibilang separuh napas Mekarsari ada di Bali.
Setelah nama Mekarsari terkenal, supplier di Jakarta yang dulu menolak ketika kami bertandang, kini malah menawarkan produknya. Ada pula kerjasama dengan sejumlah UKM yang menyediakan camilan dalam jumlah kecil. Untuk makanan yang fast moving atau waktu kadaluarsanya singkat, camilan tersebut terjual cepat. Tak banyak yang mengendap, karena begitu produk tiba di gudang, tak sampai dua minggu langsung didistribusikan lagi ke berbagai daerah. (BERSAMBUNG)
Ade Ryani / bersambung
KOMENTAR