Sebelum menikah, aku sempat berkarier di sebuah perusahaan Jepang. Karena suamiku, M. Haris Setiawan (37) juga bekerja sebagai manajer di perusahaan otomotif, sebagai istri aku harus mengikutinya berpindah-pindah kota. Sehari-hari kegiatanku menjadi ibu rumah tangga hingga melahirkan anak pertama. Jenuh tinggal diam selama tiga tahun, suatu ketika aku berkunjung ke rumah saudara di Demak. Di sana ia punya usaha rumahan emping melinjo. Tertarik, aku pun lantas membuat usaha serupa di kawasan rumahku yang berada di bilangan Waru, Sidoarjo.
Namun, prediksi mudahnya menjual emping meleset. Setelah aku survei ke pasar-pasar, harga emping ternyata cukup mahal. Aku pun berinisiatif mengambil emping langsung dari Demak dalam keadaan basah, lalu dijemur sendiri.
Tahun 2001, kuberanikan mulai menjajakan sendiri emping di Pasar Gedangan, Sidoarjo. Sambil menggendong anakku, Nabil Hilmi Dafa yang saat itu masih berusia enam bulan, aku dijuluki Ida Bakul Emping oleh para pedagang toko. Hari-hariku berubah jadi berkeliling menjajakan emping. Kalau berangkat aku naik becak, lalu jalan kaki menawarkan ke toko-toko yang ada di pasar. Kalau hari hujan, tak jarang aku harus berbecek ria mendagangkan emping mentah, baik yang manis maupun pedas.
Karena kualitas rasa dan harga emping yang kujual terjangkau, respon positif menghampiri daganganku. Hampir seluruh pasar tradisional di area Sidoarjo beralih menjadi pelanggan. Harga yang terpaut hingga Rp 3 ribu per kg dengan emping di pasaran jadi strategi jitu agar produk emping bisa diterima masyarakat. Berniat melebarkan sayap usaha, aku juga sempat sambil dagang sembako. Tapi karena kurang berkembang, berhenti begitu saja.
Hingga pada suatu saat, suamiku dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku menolak ikut, dengan alasan kerasan tinggal di kota yang lebih tenang. Setelah berdiskusi, usaha emping yang mulai berjalan kami anggap akan menjanjikan. Karena suamiku juga enggan tinggal terpisah dari keluarga, ia lalu keluar dari pekerjaan dan berkomitmen membantu usaha ini. Sambil menyiapkan masa depan buah hati kami, mulailah Haris membantuku. Dengan mobil milik kami yang seadanya, ia turut menemani aku ke berbagai daerah yang memesan emping.
Saat supir yang kami sewa menunggu di mobil, Haris harus rela mengangkut bal emping ke toko-toko sambil menemani aku yang getol menawarkan dagangan. Meski kehidupan kami jadi "turun pangkat", prinsipku kalau usaha ini dikembangkan bersama hasilnya akan lebih baik. Seandainya kami "tersandung", aku yakin kami pun bisa bangkit bersama.
Tahun 2003, kami lalu sepakat menggunakan nama dagang 'Kawanku'. Menguasai pasar area Malang dan Probolinggo, permintaan emping makin merajalela hingga ke Kalimantan. Emping Kawanku memang dikenal paling murah. Tak heran dalam setahun pasokannya mencapai 500 ton.
Namun, entah mengapa aku selalu berpikir kritis. Memang ada rasa senang dan kaget, tapi ada rasa khawatir juga. Rasanya, kok, tak siap kalau permintaan emping menurun drastis. Apalagi emping juga beresiko pada kesehatan, utamanya untuk kolesterol dan asam urat. Tak mau ambil resiko, aku lantas mengambil alternatif mencari produk lain yang bisa dijadikan makanan.
Tahun 2004, dengan karyawan dan modal yang sudah bertambah, aku dan suami pergi ke Jakarta dan kota-kota kecil di Jawa Barat. Tujuannya mencari supplier besar untuk kerjasama mendistribusikan snack atau camilan khas dari berbagai daerah. Belum apa-apa, kami sudah ditolak sana-sini oleh supplier yang mayoritas adalah pemain lama. Meski kecewa, aku kuatkan tekad tak langsung menyerah. Akhirnya aku memutuskan mencari camilan tradisional dari produsennya langsung. Walaupun saat itu kami tak tahu harus mencari dimana.
Selama dua minggu, kami berdua menyisir pelosok daerah. Mulai dari Bandung, Cianjur, Indramayu, Kuningan, Ciamis hinga Cirebon. Di Ciamis aku langsung menuju pasar tradisional paling besar. Setelah mencicipi dan menemukan camilan yang enak, langkah selanjutnya mencari informasi penjual dari toko yang menjualnya. Kalau tak dapat informasi, kami menghubungi Dinas Kesehatan daerah setempat untuk hunting lokasi produsen camilan tersebut. Dua tahun adalah waktu yang kami habiskan untuk mencari produsen camilan di seluruh Pulau Jawa.
Setahun pertama aku masih mencari produk camilan yang potensial. Setelah itu, masih dibutuhkan waktu untuk menyesuaikan rasa camilan dengan selera masyarakat setempat, khususnya di Indonesia Timur. Aku pun mengajak para produsen bereksperimen mengolah bahan baku.
Ada sekitar 50 UKM yang kemudian menggantungkan usahanya padaku dan suami. Seringkali aku juga menginap di rumah pemilik UKM, untuk menemukan formula dan tampilan produk yang pas. Kalau rasa sudah sesuai barulah camilan diproduksi massal.
Tak tanggung-tanggung, agar produsen semangat, aku juga memodali pemilik UKM untuk memproduksi camilan dalam jumlah besar. Rasanya masih penasaran dan tak peduli jika tabungan habis. Berapa pun jumlah camilan yang diproduksi, akan kubeli untuk dipasok kembali ke berbagai daerah. Daerah dimaksud adalah toko-toko dan pasar tradisional yang menjadi pelanggan emping. Jika ada masa surut dalam penjualan, usaha para pelaku UKM tetap bisa berjalan karena camilan tak akan mengendap di gudang.
Kadang kala ada saja kualitas camilan yang tidak sesuai keinginan distributor. Kerugiannya pun harus aku yang tanggung. Bagiku ini adalah bagian dari tanggung jawab agar pemilik UKM bermotivasi tinggi menghasilkan produk yang terbaik yang akan menunjang perekonomian mereka secara mandiri.
Memodali satu UKM membutuhkan modal sekitar Rp 10-50 juta. Sale pisang dari Ciamis, misalnya, butuh modal Rp 50 juta sekali produksi. Biasanya sekali produksi menghasilkan 700 bal, dimana satu bal berisi 4-5 kg. Modal pun diberikan secara bertahap, Rp 20 juta di minggu pertama, Rp 20 juta setelah menghasikan sejumlah camilan, Rp 10 juta untuk modal terakhir. Begitu terus setiap bulannya. Nantinya dari produksi hingga distribusi, selera pasar yang akan menentukan. Untuk menampung berbagai camilan itu, aku pun lantas membuat gudang di Sidoarjo dekat rumah kami.
Untuk merek, aku dan suami juga menciptakan nama yang unik, lucu, dan mudah diingat sehingga ketika dijual ke pasar tradisional, merk tersebut akan berbeda dengan lainnya. Suatu ketika, kami berdua berkunjung ke rumah Eyang. Menurut beliau nama 'Kawanku' dianggap kurang mujur. Eyang lantas memberi saran agar diganti jadi 'Mekarsari'. Filosofinya adalah usaha akan terus mekar. Simbol bunga pun dibuat dengan mengandung arti khusus. Kelopak berjumlah 9 dianggap tertinggi dan nyaris sempurna. Tanda panah ke atas diharapkan usaha terus menanjak.
Tahun 2005, Mekarsari tambah pesat dan merambah luar pulau, Kalimantan dan Bali. Sempat kami kesulitan menembus Bali. Saat itu di Bali memang sudah ada pemain lama, ditambah nama Mekarsari belum dikenal. Kami terus atur strategi dengan masuk ke pasar-pasar tradisional yang terletak di pinggiran, seperti Karangasem dan Anyar.
Tak disangka, distributor di pasar tradisional di Denpasar terkejut melihat jenis produk camilan dari Mekarsari yang jumlahnya sangat banyak. Karena armada truk Sidoarjo-Bali tidak mencukupi pengiriman permintaan, akhirnya kami membuka satu gudang lagi di Bali. Bisa dibilang separuh napas Mekarsari ada di Bali.
Setelah nama Mekarsari terkenal, supplier di Jakarta yang dulu menolak ketika kami bertandang, kini malah menawarkan produknya. Ada pula kerjasama dengan sejumlah UKM yang menyediakan camilan dalam jumlah kecil. Untuk makanan yang fast moving atau waktu kadaluarsanya singkat, camilan tersebut terjual cepat. Tak banyak yang mengendap, karena begitu produk tiba di gudang, tak sampai dua minggu langsung didistribusikan lagi ke berbagai daerah. (BERSAMBUNG)
Ade Ryani / bersambung
KOMENTAR