Keesokan harinya, sembari membawa semua rekam medis bayinya, Afid mendatangi RSU Muntilan untuk meminta klarifikasi. ''Saya minta RSU Muntilan melakukan tes DNA biar hati kami tidak mengganjal. Kami hanya ingin memastikan, benar atau tidak itu anak kami. Saya memberi waktu 3 X 24 jam. Tapi pada tanggal 27 Mei lalu, RS justru mengirimi saya surat revisi tanda lahir. Yang bertanda tangan tetap Bu Sylvia. Di surat kelahiran itu ditulis bayi saya perempuan. Pihak RS mengaku ada kesalahan administrasi. Antara petugas yang melihat dan mencatat jenis kelamin anak saya, orangnya berbeda. Karena itu, mereka membuatkan surat kelahiran baru.''
Tak puas dengan reaksi itu, Afid kembali melayangkan surat permintaan pertanggungjawaban dari pihak RS. Lagi-lagi, dijawab bayi yang ia bawa ke rumahnya benar-benar anak Ny.Atun. ''Beberapa hari kemudian datang dr. Angel dan tim medis lainnya untuk memastikan berat badan, lingkar kepala dan sidik kaki bayi.''
Karena merasa disepelekan dan tuntutannya tak dipenuhi, Afid kembali melayangkan surat tertanggal 14 Juni 2011. Ia meminta tes DNA segera dilakukan di RS swasta yang netral. ''Jawaban rumah sakit diberikan lewat surat. 'Intinya saya diminta datang ke poliklinik anak tanggal 16 Juni sambil membawa bayi Alifa. Di sana, Alifa akan diperiksa oleh para dokter spesialis. Lho, yang saya minta, kan, tes DNA. Ngapain datang ke poliklinik anak?''
Yang membuat Afid dan Atun tambah kesal, petugas yang meninggalkan surat di rumahnya tampak tergesa. ''Kenapa, sih, tidak mau duduk bersama, mengobrol, sharing untuk mencari titik temu? Memang, sih, RS pernah menawarkan penyelesaian damai. Tapi, bagi saya tes DNA itu jalan damai. Kalau benar Ifa anak saya, ya akan saya terima. Nah, kalau bukan? Kelak orangtuanya mencari, kan, kasihan.''
Rabu (22/6) akhirnya Afid mengalah. Ia datang lagi ke RS, tetapi ia mengaku justru ditinggal meeting oleh direktur RS. ''Itu, kan, artinya menyepelekan saya, toh? Mereka jelas bersalah tapi tidak ada tanggung jawabnya,'' tukas Afid geram. ''Iya, mereka tidak profesional. Tapi, kalau dibilang seperti itu mereka tidak mau,'' sambung Atun tak kalah geram.
Perseteruan antara pasutri muda dengan RSU Muntilan, menurut Atun, tak mengurangi kasih-sayangnya kepada Alifa. Demikian juga kedua mertuanya. Padahal, kata Atun, "Bidan yang mengawal kehamilan saya selama sembilan bulan justru menyarankan saya menghentikan pemberian ASI kepada Alifa. Saya jadi bingung dengan sarannya itu.''
Pertumbuhan Alifa di tangan Atun terlihat menggembirakan. Ia terawat dengan baik, hingga kulitnya pun bersih. Ifa juga sudah diimunisasi, BCG dan Polio I. ''Bidan saya sempat keberatan mengimunisasi, lho. Alasannya, vaksinnya terbatas. Jadinya saya bawa Ifa ke dokter. Entahlah apa gara-gara Ifa sedang jadi masalah, sehingga bidan tak mau mengimunisasi, padahal saya sudah dapat janji lewat SMS. Baru pada suntik Polio I dia mau. Tapi, terlihat urusannya dengan saya dipercepat karena banyak orang di sana,'' papar Atun seraya menciumi Ifa.
Karena tak mau lebih repot lagi di masa depan, urusan Alifa, kata Atun harus segera dituntaskan. Afid dan Atun masih memberi waktu kepada RSU Muntilan agar segera memenuhi tuntutannya. ''Kalau kesabaran kami habis, ya, terpaksa berurusan dengan hukum. Sudah ada tiga pengacara dan LSM yang bersedia membantu kami menyelesaikan persoalan ini. Saya juga tidak gentar, meski direktur RS pernah bilang kepada saya, punya banyak kenalan pengacara yang siap membantu mereka.''
Ditemui NOVA di ruang kerjanya, Direktur RSUD Muntilan dr Sasongko, keberatan memberikan tanggapan soal kelanjutan kasus yang tengah membelit RS itu selama sebulan ini. Apa yang akan dilakukan RSUD Muntilan bila Afid bersikeras minta pembuktian lewat tes DNA, Sasongko tak mau menanggapi. Alasannya, "Kalau mau wawancara macam ini, saya harus menyiapkan jawaban rinci. Kalau mau wawancara, pakai janjian," terangnya sembari bangkit dan berlalu.
Rini Sulistyati
KOMENTAR