Awalnya, Heru (51) dan Nunung (58) bekerja di pabrik yang sama. Meski memiliki cacat tubuh, kedua pria paruh baya ini tetap semangat menjalani hidup. Mereka tergabung dalam komunitas penyandang tuna daksa, Paguyuban Daya Mandiri. Kebanyakan anggotanya adalah pensiunan yang membutuhkan penghasilan. Suatu ketika, istri Heru yang juga pengajar di YPAC, bertemu Andriyani yang sedang memberikan pelatihan membuat aplikasi dari kain perca. Akhirnya Heru dan Nunung tergerak mengikuti pelatihan selama seminggu.
Heru yang senang menggambar ini rupanya dapat menuangkan kreatifitas seni yang ia miliki. Begitu pun Nunung yang mahir menjahit. Mereka lalu berkolaborasi membuat rok berhiaskan kain perca dengan aplikasi jahit teknik piston. "Setelah pensiun, saya tetap ingin ada kegiatan. Kebetulan berada dalam komunitas yang sama dengan Heru, lalu membuat produk sesuai pesanan yang datang dari Ibu Andri selama dua tahun ini," ujar Nunung.
Untuk bahan baku dan modal, seluruhnya telah disediakan. Begitu pun jika memerlukan tukang pola dan bordir, akan dibantu oleh karyawan Andriyani yang ada di workshop-nya. "Kami bisa mengerjakan pesanan dari rumah. Kebetulan jarak rumah kami berdua berdekatan. Setelah produk jadi, akan dibeli Ibu Andri dan hasilnya jadi penghasilan untuk mememnuhi kebutuhan sehari-hari," tambah Heru. Harga jual produknya bergantung pada besar kecilnya gambar dan jumlah jahitan.
Upah untuk gambarberkisar antara Rp 15-20 ribu dan untuk teknik jahitan, upahnya RP 4-15 ribu per produk. Meski pesanan tak datang setiap hari, keduanya tetap optimis membuat produk lain, seperti kaos dan tas.
"Kalau jual langsung, tidak ada modal dan ke mana harus memasarkannya? Ibaratnya kami ini pekerja freelance. Ada pesanan akan dihubungi, lalu membuatnya. Inginnya, sih, terus ada pesanan setiap hari supaya pemasukan ada terus. Soalnya, ini sangat sangat membantu hidup kami," harap keduanya.
Sahid (16) dan Diza (12) adalah dua anak panti asuhan Hikmatun Ayat Surabaya. Mereka mengenal Andriani pada 2010, sebagai trainer yang bekerja sama dalam program ITS Surabaya untuk memberdayakan karya kreatif anak-anak panti asuhan. Setelah mengikuti pelatihan, mereka pun dapat membuat berbagai pernak-pernik untuk anak.
Pelatihan sendiri dibagi per produk berdasar klasifikasi umur dan kemampuan masing-masing. Dengan keterampilan baru yang dimilikinya, Sahid mengaku senang. "Bisa menambah uang saku karena kalau dari yayasan, kan, sudah dijatah. Biasanya uang tadi dipakai untuk jajan, kebutuhan sekolah, dan sebagian ditabung. Setiap hari ada saja produk yang dibuat."
Awalnya, semua bahan baku dimodali Andriani. Tapi, karena sudah mandiri, panti asuhan ini telah memiliki toko yang menjual karya anak-anak panti. Sehingga donatur yang datang bisa membeli pernak-pernik kreasi mereka seperti bros, gelang, kalung, bando, gantungan handphone, gantungan tas, jepit jilbab. Harganya berkisar dari Rp 500 hingga Rp 10 ribu. "Dulu, sih, waktu pertama belajar, bikin bros saja susah. Tapi, sekarang sudah bisa bikin tidak sampai 1 jam."
Sahid juga berharap, karyanya bisa dijual di lebih banyak tempat, terutama di mal, agar bisa dibeli lebih banyak orang. "Kadang ada teman dan guru yang suka, jadi bisa dijual langsung. Uang yang saya dapat lebih besar," ucap Diza senang.
Kini, baik Diza maupun Sahid sedang melayani pesanan suvenir 400 bros dan 100 gantungan kunci. Jika menemukan ide baru untuk memperkaya karyanya, seringkali mereka mengutarakan idenya ke pembina yayasan. Setelahnya, Andriani akan mengajari mereka cara membuatnya.
Ade Riyani
KOMENTAR