Siang itu suasana rumah Andriani di Komplek Perumahan Wisma Penjaringan Sari R. 39 Surabaya, didatangi sejumlah ibu-ibu. Mereka adalah para perajin yang membawa pekerjaan membuat kerajinan. Di antara mereka ada yang menanyakan soal detail sulaman pada kain yang sedang di kerjakannya. Mendapat sejumlah pertanyaan, wanita yang biasa disapa Andri ini dengan tekun menjelaskan secara rinci bagian per bagian tentang teknik pembuatan agar hasilnya lebih bagus. "Setiap hari, ya, begini. Mereka, kalau tidak tahu, atau kurang jelas, datang kemari," kata Andri.
Ibu tiga anak ini selain memiliki usaha konveksi, juga getol dalam memberdayakan masyarakat kelas bawah, dengan memberikan pelatihan membuat kerajinan. Ia memberikan pelatihan sejak awal 2008. "Tapi, sebagai pengusaha garmen sudah saya lakukan sejak lama, tepatnya sekitar tahun 2001, setelah keluar kerja kantoran," paparnya.
Andri mengawali usaha garmen tidak dengan memproduksi sendiri, melainkan mengambil busana muslim wanita dari Pasar Tanah Abang dan Mangga Dua, Jakarta. Pakaian-pakaian itu kemudian dimodifikasi dengan berbagai hiasan di beberapa bagian, lalu dijual ke pasaran.
Setelah berjalan setahun, usahanya berkembang pesat. Ia pun tak perlu lagi mengambil pakaian dari Jakarta, tapi sudah mampu memproduksi sendiri busana muslim anak dan dewasa. "Bahkan, saya sudah mengirim pakaian sampai ke beberapa daerah di luar pulau," ujarnya bangga.
Berpikir Positif
Seiring waktu, ia tak hanya memproduksi busana muslim, tapi juga menerima pesanan pakaian seragam dari berbagai perusahaan atau untuk keperluan sebuah acara. Menurutnya, menerima pesanan membuat seragam dilihat dari segi keuntungan lebih menjanjikan. Lambat laun, produksi busana muslim ditinggalkan, dan beralih sepenuhnya ke usaha pembuatan baju seragam hingga kini.
"Membuat baju seragam tidak punya risiko tidak laku. Selain itu, secara keuangan lebih bisa dipastikan," ucap Andriani yang sempat mengenyam kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi dan Ekonomi.
Sayangnya, tahun 2007, Andri menerima musibah. Ia merasakan seluruh tubuhnya sakit semua. Mengingat ia alergi pada obat penghilang rasa sakit, dokter sampai harus menyuntikkan morfin sebagai penghilang rasa sakit yang luar biasa pada tubuhnya. "Setelah dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh, barulah diketahui ternyata saya mengidap kanker paru akut. Bahkan, kanker itu sudah menjalar ke payudara dan punggung. Dokter juga sudah memvonis nyawa saya tinggal tiga bulan lagi," papar Andri yang bersuamikan seorang farmakolog, DR. Djoko Agus Purwanto, dosen Fakultas Farmasi Unair.
Beruntung, dukungan keluarga terutama suami sangat luar biasa besar. Suaminya memberi pengertian, dengan pikiran yang tenang, pengobatan akan lebih efektif. Selain itu, perkembangan sel kanker akan jauh menurun perkembangannya jika bisa mengatur emosi dengan baik.
Di tengah proses pengobatan, Andri mulai berusaha untuk selalu berpikir positif. Salah satunya, menyibukkan diri dengan menciptakan ide-ide dalam membuat kerajianan. Yaitu memanfaatkan kain perca limbah konveksi dari usaha garmen miliknya. Ia mulai membuat berbagai aplikasi dari kain perca yang dibuat menjadi gantungan kunci, gantungan handphone, dan lainya. "Kebetulan sejak kecil saya hobi menjahit, menyulam dan sebagainya, jadi tidak ada kesulitan," kata Andri.
Setelah berhasil membuat aneka kerajinan yang bernilai ekonomi, ia lalu terpikir untuk menularkan ilmunya kepada orang lain, terutama masyarakat kurang mampu. Sejak itu, ia mengajak ibu-ibu yang ada di sekitar kompleks perumahannya datang ke rumahnya untuk diajari membuat aplikasi kain perca pada kerudung, mukena, juga sajadah.
KOMENTAR