Kabar duka itu saya terima Rabu pagi (1/6) jam 06.00. Lewat ponsel, adik saya mengabarkan Mas Toro tertembak penjahat di bagian kepalanya. Tapi bagaimana kondisi persisnya, adik saya tak tahu. Jelas saya kaget dan takut sesuatu yang buruk menimpa suami. Dalam hati saya berdoa, semoga pikiran buruk itu tak terjadi.
Untuk memastikan keadaan suami, saya menelepon teman satu timnya di Bagian Curanmor Polres Bekasi. Saya sempat lega ketika ia bilang, "Hanya kecelakaan kecil, kok. Sekarang dirawat di Rumah Sakit (RS) Jati Sampurna." Karena merasa mampu pergi sendiri, saya menolak dijemput dan menyupir dari rumah di Cikarang Baru menuju RS.
Entah kenapa, saat menyetir, kaki saya rasanya lemas sekali. Saya telepon adik dan memintanya menunggu di tol Barat untuk kemudian bersama-sama ke RS. Saya sempat kontak lagi dengan teman-teman suami. Mereka bilang akan menemani dan kami janjian bertemu. Saya sempat kaget melihat begitu banyak teman suami yang berangkat ke RS juga tapi hanya Pak Amran, salah satu teman Mas Toro dari Polres Bekasi, yang ikut di mobil kami.
Anehnya, sepanjang perjalanan menuju RS, mulut saya seperti terkunci. Hanya diam, tak tahu apa yang ingin ditanyakan atau disampaikan. Pikiran saya hanya tertuju kepada suami. Begitu pula Pak Amran, tidak cerita apa pun.
Sekitar jam 07.00, kami tiba di RS. Waktu itu, saya belum tahu kabar sesungguhnya meski badan saya lunglai sekali. Saya hanya duduk di bangku RS sampai akhirnya ada seseorang mendatangi saya dan mengucapkan belasungkawa. Barulah saya sadar, suami saya sudah meninggal. Belakangan saya baru tahu, Mas Toro tewas saat bertugas. Persisnya ketika mendatangi sebuah mobil yang mencurigakan dinihari itu dan tiba-tiba saja penjahat menembaknya.
(Usai menembak Aipda Sugiyantoro yang mengenai bagian wajah, mobil yang diduga berisi beberapa orang jahat itu langsung kabur. Sampai berita ini ditulis, pelaku belum berhasil ditangkap, Red.)
Saya makin lemas dan hanya bisa menangis. Saya tak sampai hati melihat kondisinya di kamar jenazah. Sementara itu, keluarga suami mulai berdatangan dan berusaha menenangkan saya. Waktu itu, jasad suami akan dibawa ke RSCM untuk diotopsi. Tapi saya tak sanggup mengantarnya. Lebih baik saya menunggu di rumah. Akhirnya saya diantarkan adik pulang.
Keluarga suami sempat mengusulkan untuk memakamkan almarhum di Madiun, tempat asal keluarga besar suami. Tapi saya keberatan. Saya minta dimakamkan di Bekasi saja, tak jauh dari rumah mertua. Kalau di Madiun, saya tentu repot bila ingin ziarah ke makamnya. Padahal, saya ingin sewaktu-waktu bisa ke makamnya.
Hari itu juga, jenazah suami dimakamkan. Banyak pelayat datang tapi saya tidak sanggup mengenali satu per satu. Kalau ada yang bertanya tentang suami, saya hanya bisa menangis. Rasanya sangat berat ditinggalkan suami.
KOMENTAR