KAMPUNG LONTONG
Siang itu Triono (42) dan pamannya Supi'i, duduk di lantai ruang tamu. Tangan Triono dengan terampil memasukkan beras menggunakan gelas ukuran ke masing-masing wadah lontong yang terbuat dari daun pisang (contong). Sementara Sang Paman, Pi'i, yang ada di sebelahnya kemudian melanjutkan pekerjaan Triono, menutup ujung daun pisang dengan lidi agar beras yang ada di dalamnya tak tumpah keluar.
Saking terampilnya, meski penglihatan Pi'i sudah tak begitu bagus akibat terkena katarak, namun pekerjaan sehari-hari yang sudah dilakukannya sejak lama itu bisa diselesaikan dengan cepat. Hanya dalam hitungan menit Pi'i bisa menghasilkan puluhan contong bakal lontong. "Warga di sini memang pekerjaan sehari-harinya, ya, seperti ini. Jadi sudah terbiasa cepat mengerjakannya," tambah Triono dengan tangannya yang terus menuangkan beras ke dalam contong-contong yang ada di dalam keranjang.
Namun, lambat laun usaha itu makin meredup, seiring makin naiknya harga kedelai, ditambah mulai masuknya berbagai produk tempe dari berbagai daerah ke Surabaya. Lalu, entah siapa yang mempunyai ide awal, warga yang semula hanay bisa membuat tempe kemudian secara bertahap mulai mencoba beralih membuat lontong. "Kami, kan, setiap hatri pasti ke pasar, dan melihat banyak pembeli mencari lontong akhirnya warga desa sini mulai bikin lontong," papar Pi'i.
Dan, pilihan itu ternyata tidak salah. Setelah mencoba lontong yang dijualnya selalu laris manis, "Sejak itulah warga yang semula masih bertahan membuat tempe lambat laun beralih bikin lontong semua," timpal Triono yang sehari-hari menghabiskan sekitar 75 kg beras untuk membuat 750 buah lontong. "Jumlah ini masih bisa bertambah, kalau ada pesanan khusus," kata Triono lagi.
Triono juga menjelaskan, dengan adanya usaha lontong ini, kehidupan warga yang berada di perkampungan padat penduduk itu menjadi lebih hidup. Sejak pukul 02.00 dini hari kampung itu sudah ramai dengan aktivitas membuat lontong. "Tengah malam warga sudah bersiap-siap berangkat ke pasar masing-masing," jelas Triono yang menjual lontongnya per buah Rp 750.
Menurut Chotijah (37), penjual lontong lainnya, lontong produksinya tergolong yang sangat dikenal. Meski di setiap pasar banyak penjual lonotng dari daerah lain, namun rata-rata produsen dari tempatnya lebih laku.
Yang membeli di tempatnya rata-rata para pedagang gado-gado, lontong mi, bakso, soto, bakwan dan lainnya. "Daripada bikin lontong sendiri lebih ribet, para pedagang makanan itu memilih membeli lontong yang sudah jadi," kata Chotijah.
Mereka cenderung membeli ke para pembuat lontong dari Petemon atau Banyu Urip, sebab secara kualitas memang lebih baik. Buktinya, lontong buatan Chotijah jauh lebih tahan lama ketimbang lontong buatan tempat lainnya. "Lontong buatan sini, meski didiamkan sampi lusa tidak akan basi, bahkan tetap kenyal. Sementara buatan lain biasanya sudah basi," imbuh Chotijah yang dalam sehari bisa menghabiskan satu kuintal beras untuk lontong.
KOMENTAR