Selidik punya selidik, ujar Anom, "Tak ada tanda-tanda Marlena melakukan pencurian. Justru sebaliknya, setelah kami periksa di klinik, ada dugaan kekerasan pada diri Marlena yang dilakukan majikannya," papar Anom sambil menambahkan, polisi kini juga melindungi dua babysitter, Sulasmi dan Dwi Fitri Noryani, sebagai saksi kunci karena keduanya mengetahui penganiayaan itu.
Tapi betulkah keluarga Tan Fang sekeji itu? Lyd, salah satu anak Tan Fang, jelas membantah. Ia justru mengaku sangat syok karena dijadikan tersangka. "Sejak kejadian ini, berat badan saya langsung turun 3 Kg," kata Lyd yang didampingi salah seorang staf dari Pieter Talaway, SH, CN, kuasa hukum keluarganya.
Ia juga tak menduga, akibat khilaf sesaat ternyata berdampak seperti ini. "Saya tak membayangkan kekhilafan kami harus ditebus seperti ini," katanya sambil bercucuran air mata. Apalagi, tambahnya, pemberitaan di media massa dirasanya sangat memojokkan keluarganya. "Kalau semua keluaraga kami ditahan seperti ini, lalu bagaimana nasib saya dan kedua anak saya yang masih balita? Kami makan uang dari mana?" tanya Lyd yang memiliki dua orang anak berusia 3 dan 1 tahun ini.
Tak hanya kehidupan ekonominya saja yang berantakan, kehidupan sosial Lyd juga ikut porak-poranda. Ia mengaku amat takut pada pandangan masyarakat. Saking hebohnya pemberitaan, beberapa kerabat juga menolak menampung anak-anak Lyd yang masih kecil-kecil. "Mereka khawatir jadi ikut-ikutan terlibat."
Bahwa seluruh keluarganya menyiksa Marlena, tak dipungkiri perempuan ini. "Tapi tidak sekejam seperti yang diberitakan media," sanggahnya. "Kalau memang keluarga saya melakukan kekerasan sejak dulu, tentu sejak lama semua pembantu sudah kabur dari rumah kami. Tapi nyatanya tidak. Ada pembantu kami yang bernama Sulasmi, dulu ibunya ikut ibu saya, sekarang Sulasmi ikut saya. Kalau kami memiliki sifat kejam, mana mungkin dia mau ikut keluarga kami," ujarnya.
Dengan Marlena pun, tuturnya, awalnya keluarganya tak bermasalah. Marlena juga sering diberi bonus setiap hari raya karena pekerjaannya baik dan cakap. Keluarga besarnya baru khilaf setelah berbagai barang, termasuk perhiasan kado perkawinan orangtuanya pada tahun 2007 lalu, raib dari tempatnya. "Setelah kami tanyai, baru Marlena mengaku sebagai pelakunya. Kami jadi emosi sesaat dan sempat menempeleng serta mencubit Marlena," aku Lyd.
Wajar Jewer
Sementara pengacara keluarga Tan Fang, Pieter Talaway, SH, CN., berharap polisi lebih bijak menagani kasus ini. "Seharusnya polisi tidak sekadar menerima pengaduan korban, tetapi juga mencari sebab mengapa pelaku melakukan penganiayaan. Kami akui klien kami memang melakukan penganiayaan, tapi seharusnya juga dicari penyebabnya."
Apalagi, lanjut Pieter, penganiayaan yang dilakukan para pelaku juga tidak sedramatis yang seperti pemberitaan belakangan ini. Misalnya saja, katanya Marlena dirantai dan tidur di kandang anjing. "Klien kami tak punya kandang anjing," tutur Pieter sambil menambahkan, penahanan Ron dianggapnya berlebihan. "Dia memang sempat menjewer korban karena kesal korban menuduh Tan Fang yang justru mengambil perhiasan. Sebagai anak, kan, jengkel ibunya yang dibilang mengambil perhiasan. Jadi wajar, karena emosi dia ikutan menjewer. Nah, masak begitu saja harus mendekam di tahanan."
Selain itu, sikap polisi yang hingga kini masih menyembunyikan keberadaan Dwi Fitri Noryani dan Sulasmi, juga membuat Pieter bertanya-tanya, "Kenapa, sih, kok terlalu diumpetin?"
Jika benar semua tuduhan yang disangkakan pada keluarga Tan Fang, menurut psikolog dr. Budiman. Sp.Kj, ada tiga faktor yang jadi pemicunya. Pertama, ada satu di antara pelaku yang mendominasi. Perilaku ini dapat memprovokasi anggota keluarga lain untuk mengikuti langkah orang yang memiliki sifat dominan itu. "Faktor kedua, para pelaku memiliki sifat yang sama, impulsif, sehingga dapat melakukan hal di luar penalaran yang sehat. Ketiga, bisa jadi hal ini muncul karena disebabkan oleh sesuatu yang disebut histeria massa. Yaitu tindakan seseorang yang kemudian diikuti oleh orang lain," tuturnya.
Untuk menentukan penyebab pastinya, kata Budiman, perlu pendalaman kasus lebih lanjut. "Para tersangka pelaku ini juga perlu dilihat latar belakangnya. Misalnya, bagaimana cara mendidik yang diterapkan orangtuanya karena hal itu dapat mempengaruhi pola pikir mereka ketika dewasa. Mengapa mereka sampai melakukan hal yang bisa dibilang sudah di luar kewajaran."
Sebagai seorang praktisi, Budiman memberi saran agar ke depannya baik korban maupun pelaku menjalani terapi kejiwaan. "Korban sudah dapat dipastikan mengalami post traumatic. Selama jangka waktu lama mengalami tindak kekerasan di luar batas normal seperti itu, pasti meninggalkan trauma. Tingkatannya bisa beragam. Mungkin berbentuk susah tidur, mimpi buruk, paranoid, tertutup, dan lain-lain. Untuk mengetahui sejauh mana dan bagaimana terapinya, masih perlu didalami. Para tersangka pelaku kekerasan juga perlu menjalani terapi."
Gandhi Wasono M, Edwin
Berita yang lebih lengkap dan dalam ada di Tabloid NOVA. Belinya enggak repot, kok.
Sahabat NOVA bisa pilih langganan di Grid Store, atau baca versi elektroniknya (e-magz) di Gramedia.com, MyEdisi, atau Majalah.id.
KOMENTAR