PT Infiniti Multi Kreasi Kreasi Bahan Alami
PT Infiniti Multi Kreasi adalah salah satu pembuat kerajinan daur ulang. Mulai dari kertas koran, majalah, karung beras, karung gula pasir, daun-daunan, kayu dan banyak lagi. Produk yang dihasilkan pun bermacam-macam, seperti kotak, vas bunga, cermin, dan laundry bag. Pabriknya memang berada di Bantul, Yogyakarta, tapi jangan salah, produksinya sudah diekspor sampai ke Amerika.
"Kami mulai berproduksi sejak 2003, dengan bahan baku natural fiber, yaitu bahan-bahan alami dari tanaman, sisa-sisa kemasan, majalah, karung goni, bungkus makanan, daun pisang, pohon, daun lontar, daun mahoni," jelas Nanik Susatyo, General Manager PT Infiniti Multi Kreasi.
Salah satu yang paling digemari adalah vas bunga dan bingkai cermin dari kertas dan majalah bekas. Cara pengolahan kedua bahan ini hampir sama. Kertas dipotong kecil-kecil dengan mesin pemotong, lalu ditenun satu persatu. "Seperti menenun kain memakai alat tenun. Yang membuat indah, karena benangnya warna-warni. Penggunaan benang putih agar efek majalahnya lebih kelihatan. Sementara benang hitam membuat lebih tajam. Tergantung permintaan juga, sih, maunya seperti apa."
Kertas yang sudah ditenun ini bisa juga di-print atau dicap seperti batik. "Tinggal pilih motif bunga atau angka. Lalu, ditempel ke media yang diinginkan, misalnya boks, tas, cermin atau apa saja. Jika fungsinya tak diisi benda-benda berat, kotaknya memakai bahan karton saja. Tapi bila ingin diisi barang berat, bahannya harus pakai playwood atau MDF agar lebih kuat. Tapi, yang terakhir harganya lebih mahal."
Nah, yang pembuatannya benar-benar handmade adalah vas. "Kertas dilipat-lipat sampai kecil kira-kira 0,5 cm dan memanjang, kemudian dililitkan ke satu media. Benar-benar butuh ketelitian dan kesabaran karena satu persatu pengerjaannya," papar Nanik sambil mengatakan vas ini banyak diminati pembeli lokal.
"Meski buatan lokal, tapi banyak orang asing yang suka. Mereka kagum karena dari bahan bekas bisa dipakai jadi sesuatu yang baru. Sementara orang kita justru berpikir, kok, dari barang bekas harganya mahal? Padahal cara membuatnya juga rumit dan pakai tangan."
Untungnya, bahan baku alami ini berlimpah di Indonesia. "Alamnya sangat bagus, tapi banyak sekali yang tidak dimanfaatkan. Misalnya, bagaimana tanaman yang dikeringkan bisa dijadikan sesuatu yang indah."
Padahal di Thailand, lanjut Nanik, produksi bunga kering sudah sangat maju. "Pemerintahnya mendidik para perajin kecil. Mengeringkan tak bisa hanya mengandalkan matahari, tapi harus dibantu bahan kimia agar keringnya cantik dan maksimal," kata Nanik seraya menyarankan, saat membuat barang daur ulang, jangan biasa-biasa saja. "Harus sesuai market internasional agar nilai jualnya tinggi. Jangan asal laku saja, karena tiap negara punya taste berbeda."
Tujuannya tak lain agar taraf hidup perajin naik. "Jangan sekadar membuat tanpa ada nilai estetikanya. Jadi, kami dibantu perajin dari Jogja karena mereka sudah dikenal bagus dalam berkreasi."
Kreasi daur ulang yang dilakukan oleh ibu-ibu warga RW 05, Lempuyangan Tengah, Kecamatan Danurejan, Yogyakarta, juga patut diapresiasi. Ibu-ibu yang berjumlah 15 orang itu tergabung dalam Kelompok Guyub Rukun. Rata-rata dari mereka memiliki keterampilan menjahit dan peduli akan kebersihan lingkungan.
Yang mereka lakukan kemudian adalah membuat aneka barang dari limbah rumah tangga, khususnya bekas pembungkus makanan, minuman dan sabun cuci. Mereka membuatnya menjadi aneka barang suvenir seperti gantungan kunci hingga tas laptop, baju dan topi. Per bulan, rata-rata pemasukannya bisa mencapai Rp3 juta hingga Rp 5 juta.
Berbeda dengan produk olahan limbah yang hanya disambung-sambung lalu dijadikan produk baru, ibu-ibu perajin ini menggunakan metode berbeda. Plastik bekas dipotong tipis dengan gunting hingga menyerupai mi, lalu dimasukkan ke dalam pola yang beraneka ragam. Selanjutnya, kain yang sudah terisi guntingan 'mi limbah' ini dijahit rapi. Beberapa produk bahkan dikombinasi dengan kain batik atau kain polos, karena itu harganya jadi relatif mahal.
Latihan Sehari
Untuk bisa membuat aneka kreasi itu, kelompok ini hanya memerlukan latihan beberapa jam saja. "Pelatihnya Mbak Novi dari Balai Lingkungan Hidup. Kebetulan ibu-ibu di sini tingkat kreativitasnya sudah tinggi, jadi diajari sedikit saja sudah tahu," jelas Ari Pusparini (27), anggota Kelompok Guyub Rukun.
Seusai pelatihan, ibu-ibu langsung bisa menghasilkan produk. Oleh Novi, produk bikinan ibu-ibu itu dibawa ke pameran. Ternyata, sambutan masyarakat amat positif. Pesanan sedikit demi sedikit datang. "Karena terus ada pesanan, saya menyarankan ibu-ibu untuk membentuk kelompok. Nah, sekarang ibu-ibu yang konsentrasi berkreasi, lalu saya yang memasarkan. Selain ada usaha kelompok, masing-masing anggota juga ada yang memiliki usaha sendiri."
Bila ada pesanan untuk kelompok, lanjut Ari, hasilnya dinikmati bersama. "Untungnya juga dibagi bersama. Tapi, ibu-ibu juga boleh berkarya secara pribadi dan membuat merek sendiri. Bila salah satu terima pesanan tidak bisa mengerjakan sendiri, order bisa dibagi keanggota kelompok sesuai kemampuannya. Kalau yang terima order kelompok, sementara bahan bakunya cuma punya sedikit, kami menawar ke pemesan, tanggal pengambilannya bisa diundur atau tidak. Soalnya bahan bakunya, kan, harus dicari," terang Ari. Ari sendiri membuat merek Dzakka Collection untuk produk-produk tas bikinannya.
Setelah terbentuk kelompok, aturan pun diberlakukan. "Siapa yang bisa membuat produk baru, desainnya dibeli kelompok. Harganya antara Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu. Tergantung desainnya. Nah, bila desain baru itu dipamerkan lalu ada pesanan, maka si desainer mendapat royalti sekitar 7-10 persen dari total pesanan. Dengan cara itu, ibu-ibu akan lebih kreatif mencipta desain baru. Habis, kalau ada barang baru keluar, pasti akan banyak tiruannya."
Berhubung bahan bakunya terbatas, Ari mengaku kelompoknya juga mau membeli limbahnya, "Kami bisa membeli yang lembaran maupun potongan. Syaratnya harus sudah dicuci bersih. Yang lembaran per kilonya bisa laku Rp 2 ribu. Yang sudah bentuk rajangan tipis, per kilonya Rp 6-10 ribu. Tapi potongannya harus rapi dan sudah dipisah berdasar warna, ya. Saya sendiri membuat tas berdasarkan warna, sebab saya kombinasi dengan batik. Kalau warna limbahnya campuran, motif batiknya tak bisa menonjol," terang mantan guru SD ini.
Dengan memanfaatkan limbah, kini ibu-ibu semakin giat mengedukasi masyarakat di sekitarnya bahwa sampah plastik bisa bernilai. "Memang lingkungan jadi agak bersih, tapi belum sepenuhnya kampung kami bebas dari limbah plastik. Belum semua bergerak. Masih harus terus dikampanyekan dan disadarkan, limbah rumah tangga mereka itu ada harganya."
Nove, Rini / bersambung
KOMENTAR