Memasuki Jl. Margorukun VII, Kelurahan Gundih, Kecamatan Bubutan Surabaya, suasana asri langsung menyeruak. Tak ada sampah yang tercecer. Padahal, kampung itu bukanlah kawasan mewah yang warganya berekonomi cukup. Kawasan padat penduduk yang berdekatan dengan Stasiun Pasar Turi itu mayoritas penghuninya justru tergolong kelas menengah ke bawah.
Dulu, kampung ini dikenal dengan sebutan 'kawasan merah', yang artinya kampung preman. "Dulunya memang kumuh, jorok, gersang. Terkenal sebagai tempatnya preman dari segala kejahatan di Surabaya," kata Mohamad Fauzan (37) sang pelopor lingkungan di kawasan ini.
Sebagai warga yang sudah tinggal lama di tempat itu, tentu Fauzan merasa prihatin. Tahun 2007, ia mengikuti program Merdeka Dari Sampah (MDS) yang diadakan oleh kelurahan setempat. Fauzan lantas tergerak untuk menghijaukan wilayahnya. Demi mendekati warga, ia rela begadang setiap malam. "Kalau main paksa, saya yakin tidak akan bisa," kata bapak tiga anak yang sehari-hari bekerja sebagai penjual daging segar.
Fauzan yang ketika itu menjabat sebagai wakil ketua RT setempat, lalu mencari akal untuk bisa mengubah pola hidup warganya jadi lebih baik. Ia membentuk pengurus kampung sebanyak mungkin. Satu RT dibagi lagi jadi beberapa seksi, yang jumlah anggotanya sekitar 30 orang. "Kepada para seksi inilah saya memberi pengertian betapa pentingnya membuat kampung jadi bersih dan hijau."
Kepada para pengurus kampung ini Fauzan meminta agar masing-masing rumah diberi hiasan pot bunga di depan rumah masing-masing. Setelah berhasil menghijaukan rumah pengurus, Fauzan melebarkan sayap. Ia menunjuk fasilitator bersih lingkungan yang sebagian besar adalah ibu-ibu. Fasilitator yang sudah diberi pemahaman kebersihan lingkungan ini lalu secara intens menularkannya lagi ke para tetangga.
Salah satu programnya saat itu adalah pengolahan sampah pribadi. "Saya butuh waktu sekitar enam bulan untuk membebaskan kampung dari sampah," kata Fauzan. Berkat gerakannya ini, kampungnya keluar sebagai juara pertama kampung yang merdeka dari sampah.
Melihat apresiasi yang diberikan ke kampungnya, yang dinyatakan sebagai kampung bebas sampah, warga yang semula ogah-ogahan menanam tanaman mulai tumbuh kesadaran. "Sejak itu, kampung ini makin hari makin baik," kata Fauzan.
Tak hanya sampai di situ, Fauzan bersama warga lain membuat terobosan membantu penghematan pengeluaran air warga. Ia membuat proses penjernihan air limbah rumah tangga. Air limbah diproses secara sederhana kemudian dijernihkan, lalu dialirkan ke rumah warga dengan pipa khusus. Air ini biasa digunakan untuk menyiram tanaman dan mencuci sepeda motor. "Sekarang, masing-masing warga bisa menghemat air sekitar 5-6 kubik air per bulan," jelas Fauzan yang semua usahanya itu merupakan pendampingan dari Yayasan Uli Peduli dari Unilever.
Saat ini, puluhan RT dari 10 RW yang ada di kelurahan Gundih, meniru Fauzan dalam mengelola kebersihan kampungnya. Saat ini, dirinya diminta oleh Pemda Lamongan untuk menularkan ilmu yang dimiliki dan menjadikan Lamongan jadi kota yang bersih.
Uniknya lagi, setelah Gundih mendapat berbagai predikat juara lingkungan, warganya turut berubah perilaku. "Yang saya amati, begitudapat pengharagaan, preman-preman itu malu sendiri kalau masih melakukan kejahatan. Justru, saat ini mereka lah yang jadi pendekar lingkungan. Mereka akan berdiri paling depan kalau ada aksi gerakan kebersihan kampung," kata Fauzan bangga.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR