Sungguh tak menyangka jika aku harus menerima cobaan seberat ini. Tak pernah menduga, anak yang kulahirkan akan ditakdirkan terlahir tak sempurna oleh Tuhan. Setelah menikah dengan Agus Widodo (33), kami melalui hari-hari dengan bahagia. Apalagi, tak lama kemudian aku dinyatakan positif mengandung oleh dokter.
Sebagai wanita, masa-masa itu adalah masa yang sangat membahagiakan. Bulan demi bulan berlalu dan semuanya berjalan baik-baik saja. Kandunganku pun tak pernah bermasalah. Dokter mengatakan, janin yang ada dalam rahimku dalam keadaan sehat.
Namun, persoalan baru muncul menjelang proses persalinan. Meski bukaan di jalan lahir sudah cukup, tetapi si jabang tak kunjung keluar. Tak bisa dibayangkan betapa sakitnya ketika itu. Di saat kesakitan itu memuncak, aku dan suami sudah minta untuk di operasi caesar saja. Tetapi dokter yang menangangi di salah satu rumah sakit bersalin di Sidoarjo tak mengizinkan. "Tidak usah caesar. Bisa, kok, dilahirkan secara normal," kata dokter T.
Meski harus menunggu beberapa jam, ternyata sang jabang bayi belum mau keluar juga. Entah sudah beberapa kali aku diberi perangsang yang dimasukkan lewat oral maupun jalan lahir. Ketika aku merasa sudah tak kuat lagi menahan sakit yang teramat sangat, setelah 18 jam kemudian aku terpaksa di operasi caesar. Keputusan ini diambil karena gerakan bayinya sudah melemah. Perutku pun rasanya sangat kaku.
Kebahagiaanku dan suami memuncak ketika Si kecil berhasil dilahirkan. Akhirnya, cita-citaku menjadi seorang ibu yang utuh terpenuhi. Bayi lelaki mungil yang aku lahirkan kami beri nama Bintang Agrabana. Begitu bahagiannya, aku sampai lupa semua rasa sakit yang sebelumnya kurasakan.
Setelah beberapa bulan berjalan, aku melihat perkembangan dan pertumbuhan fisik Bintang sedikit melambat dibanding bayi-bayi seusiannya. Aku sudah berusaha mendongkraknya dengan memberikan makanan bernutrisi lebih, tapi tetap tak berhasil. Tubuhnya kurang berisi, bahkan untuk bisa berjalan pun agak terlambat. Kendati demikian, aku masih melihat bayiku normal-normal, artinya tak ada gangguan yang berarti.
Namun, sekitar usia 1 tahun lebih, aku mulai curiga bila ada masalah dengan pendengaran Bintang. Tak seperti balita lainnya, jika dipanggil atau didengarkan suara tertentu pasti akan memberi respons. Tak demikian dengan Bintang. Meski disebut-sebut namanya di samping telingannya, sama sekali tak ada respons. Jujur saja, sebagai ibu, aku tak siap menerima kenyataan bila Bintang tuli. Sehingga, perasaan itu tak pernah aku ungkap kepada siapa pun, kecuali ke keluarga di rumah. Aku menghibur batinku sendiri bahwa Bintang baik-baik saja. Padahal, sejatinya itu hanya hiburan semu untuk menenangkan diri sendiri.
Gelagat bahwa Bintang tumbuh tak normal semakin hari semakin kentara. Ketika ia sudah mulai berjalan, gerakannya terlihat agresif. Bila sudah berjalan, meski diteriaki sekeras mungkin, sama sekali tak ada respons. Karena itu, kami yang ada di rumah sama sekali tak bisa meninggalkan Bintang sendirian.
Saat Bintang berusia dua tahun, aku terpaksa memberanikan diri membawa Bintang ke rumah sakit. Sebenarnya aku tak siap mental untuk menerima kenyataan. Tapi ada satu keadaan yang benar-benar membuatku harus melakukannya. Ketika aku di kantor, di sebuah perusahaan advertising, menurut ibuku, Mujayana (59), yang menunggui Bintang di rumah, siang itu tengah hujan lebat. Bintang bersama teman-teman sebanyanya saat itu sedang bermain-main di teras rumah. Saat itu, tiba-tiba petir menyambar dengan suara amat keras.
Yang membuat ibuku heran, semua anak-anak sebayannya langsung menangsi ketakutan dan berlari ke dalam rumah. Tapi, Bintang sama sekali tak berekspresi. Ia cuek saja, seolah tak mendengar apapun. Sepulang kerja, aku diceritakan oleh ibuku peristiwa itu. Aku menangis mendengarnya. Aku jadi semakin yakin, pasti ada masalah dengan pendengaran Bintang.
KOMENTAR