Cak Cuk Suroboyoan
Peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2005 silam menjadi tonggak sejarah tersendiri bagi Dwita Roesmika, SE, Ak (35). Pasalnya, di hari itu usaha pembuatan kaos kata-kata Suroboyoan miliknya mulai diperkenalkan ke masyarakat. "Proses pembuatan usaha ini enggak membutuhkan waktu lama. Hanya hitungan minggu," tutur mantan karyawan sebuah perusahaan besar tingkat nasional itu.
Dwi, begitu pria ini biasa disapa, tak menyangka usahanya dapat berkembang pesat hingga seperti saat ini. Tak banyak harapan muluk ketika ia mulai membuka usahanya ini. "Awalnya, cuma ingin mengisi waktu luang di hari Sabtu dan Minggu. Selain itu, usaha ini adalah bentuk kegusaran saya, kenapa Surabaya tidak punya oleh-oleh yang khas seperti daerah lain. Kalau pun ada, ya, cuma itu-itu saja. Akhirnya, terpikir untuk bikin oleh-oleh alternatif. Saya pilih kaos sebagai medianya."
Surabaya terkenal dengan warganya yang ceplas-ceplos dalam bicara dan berani mengungkapkan isi pikiran dengan kata-kata, yang mungkin bagi sebagian orang dianggap "kasar". "Tapi, di Surabaya itu sudah biasa, itu namanya misuh. Agar semakin menarik dan mudah diingat, saya memilih nama CakCuk. Cak adalah panggilan akrab di Surabaya yang artinya sama dengan Mas atau Bang. Kalo Cuk, ya itu juga kata yang biasa diucapkan," ungkap Dwi ketika ditemui di salah satu toko CakCuk miliknya di Jl Mayjend Sungkono No. 35.
Bermodal Rp 5 juta, Dwi memulai usahanya melalui pameran di Balai Pemuda. "Saya bikin 400 kaos dengan 20 desain. Awalnya, agak sulit memasarkannya. Wajarlah, namanya juga barang baru. Lakunya saat itu cuma 5 kaos per minggu. Tapi, saya enggak patah semangat, saya terus ikut berbagai pameran dan membuka stand di berbagai acara. Alhamdulillah, setahun kemudian mulai dikenal dan makin banyak pelanggannya," tutur pria yang kini sudah memiliki 25 karyawan.
Setelah usahanya makin mapan, tahun 2008 Dwi memutuskan untuk benar-benar fokus mengelola CakCuk. Dwi pun keluar dari pekerjaannya sebagai Senior Accounting. "Sekarang, saya sudah punya empat toko sendiri, dan sekarang juga kaos CakCuk ada di lima cabang swalayan yang bekerjasama dengan saya."
Agar pelanggan tak bosan, lanjutnya, setiap bulan ia mengeluarkan 3 sampai 5 desain kaos baru. Ia juga memiliki 6 tema kaos. Yaitu, tema nasional, Surabaya Kota Pahlawan, Surabaya Esek Esek, Surabaya Kota Makanan, Surabaya Tempo Doeloe dan desain nyeleneh yang berisi kata-kata misuh.
Meski kini sudah ada ratusan desain yang dibuatnya, "Ada saja pelanggan yang minta desain lama. Bahkan mereka rela menunggu beberapa hari untuk dibuatkan," ucap Dwi yang juga menerapkan paket diskon dan bonus untuk menarik semakin banyak pelanggan. "Apalagi di masa liburan, pasti akan semakin ramai pembelinya," sambung Dwi yang kini memiliki omzet per bulan sekitar Rp 120 juta.
Satu kaos produksi CakCuk harganya Rp 64 ribu. "Terpaksa dinaikkan harganya, menyusul kenaikan barang baku dan proses pembuatan. Ini saja saya belum naikkan lagi, soalnya kalau dihitung dengan biaya produksi dan lain-lain, satu kaos harusnya dijual Rp 95 ribu. Tapi kalau saya naikkan, enggak enak sama pelanggan. Kalaupun harga harus naik, saya juga harus meningkatkan kualitas produksi dengan menggunakan bahan-bahan terbaik."
Selain menjual produknya secara langsung, Dwi juga menggunakan sistem penjualan online. "Melalui media ini pelanggan saya jadi semakin banyak. Bahkan ada yang dari Amerika," akunya.
KOMENTAR