Siang yang cerah berubah gerimis di Museum Sultan Badaruddin II di pinggir Sungai Musi, Palembang. Tapi rintik hujan tak mengurangi minat menikmati suasana Bumi Sriwijaya itu. Berjalan menyusuri sungai Musi sungguh mengasyikkan. Apalagi saat mampir di restoran apung milik Pak Agus (64) yang banyak dibicarakan orang.
Semangkuk tekwan dan secangkir teh panas manis serta berpiring-piring hidangan aneka gorengan tak henti diserbu oleh pembeli yang terdiri dari anak-anak, pekerja kantoran, hingga kakek-nenek.
Tiba-tiba angin bertiup kencang dan perahu berulang-kali bergoyang. Raut muka pengunjung resto apung pun sebagian terlihat cemas. Namun, tak lama kemudian angin berhenti bertiup dan perahu kembali tenang. lalu, kekagetan lain muncul. Setelah makan sepuasnya, biaya yang dikeluarkan cuma 4 ribu rupiah!
Restoran lain adalah Pempek Saga Sudi Mampir di Jln.Merdeka yang terkenal dengan pempek bakarnya yang lezat. Maria, pemilik restoran, menjelaskan asal kata Pempek tersebut. "Cerita kakek saya, jajanan ini dulu dijual oleh warga keturunan China keliling kota Pelembang yang disebut Ampek. Nah, tiap kali penjual jajanan yang terbuat dari sagu itu lewat , warga selalu memanggil penjualnya dengan berseru, Pek! Pek! Akhirnya jajanan ini dikenal dengan sebutan Pempek,'' jelas Maria.
Ibu tiga anak ini, bisa mengisahkan "sejarah" pempek karena kakeknya, Ki Agus Daim, adalah perintis usaha pempek Saga yang puluhan tahun lalu, berjualan pempek gerobakan di emperan bioskop Saga selama lima tahun. Ciri khas pempek milik Ki Agus Daim adalah, pempek panggang dan lenggang beralas daun pisang.
Karena larisnya, sang kakek bisa mengontrak toko. Usaha yang digeluti itu kemudian diturunkan kepada Ki Agus Abdul Halim, ayah Maria yang kemudian membuka toko bernama Pempek Saga Sudi Mampir. Kata Saga terus digunakan meski tokonya sudah jauh dari bioskop Saga. Dari usaha pempek bakar selama kurang lebih 40 tahun itu, Abdul Halim yang kini berusia 64 tahun, bisa memiliki 11 ruko yang kemudian dibagikan kepada anak-anaknya.
Salah satu toko miliknya, yakni resto Pempek Saga Sudi Mampir di Jln.Merdeka yang sejak empat tahun lalu dikomandoi Maria. ''Datuk-datuk pelanggan kakek dan ayah saya kalau liburan atau pulang kampung pas lebaran pasti datang kemari. Yang mereka ingat adalah Pempek Saga,'' terang Maria.
Konsisten Bakar
Sudi Mampir buka dari jam 10 pagi hingga jam 23.00. Sepanjang waktu itu, rata-rata per hari Maria membutuhkan 500 butir telor bebek, dan 60 kilo ikan gabus sebagai bahan baku seluruh pempeknya. 'Saya jualnya per potong Rp 12 ribu. Kalau yang bulat, Rp3 ribu.''
Di restaurannya yang berkapasitas 165 orang, Maria mengaku tiap hari menerima pesanan yang akan dibawa ke luar kota. Kata Maria, lenggang pangangnya itu bisa tahan dua hari. ''Yang penting kalau pas mau disantap, dipanaskan lagi,'' ucapnya menutup perbincangan.
Adzan Magrib pun tiba. Perlahan tapi pasti, semburat senja berubah menghitam. Perlahan lampu-lampu berwarna-warni mulai menyala merambati besi-besi baja Jembatan Ampera. Sungai Musi pun bermandi cahaya.
Songket Tangga Buntung
Kini, kerajinan songket tak hanya berupa sarung dan selendang saja, melainkan sudah berkembang menjadi kerajinan souvenir mungil yang cantik-cantik. Para pelancong bisa menemukannya di kawasan Ulu dan Ilir. Di Ilir, Anda bisa mengunjungi kawasan Tangga Buntung sekitar dua kilometer dari Museum Sultan Badarudin II. Sementara di kawasan Ulu, ada di Kebun Pisang Seberang Ulu. Di dua tempat ini, warga masih membuat kain songket dari tingkatan berharga murah, hingga pembuat replika songket tua yang harganya jutaan rupiah.
Salaj satu perajin songket di Ilir yang memiliki bengkel kerja di rumahnya adalah, Sukri S.Ag. Ketika NOVA datang ke galerinya, rausan kain songket nan cantik terpajang di lemarinya dengan rapi. Menjelang Sea Games November mendatang di Palembang, Sukri sudah menyiapkan aneka souvenir mulai dari gantungan kunci, tempat pensil, dompet hingga kopiah dengan harga murah meriah.
Rini Sulistyati
KOMENTAR