Untung Nining Ikut Pengajian
Dua tahun lebih tinggal di Jepang karena mengikuti suami yang bekerja di sana, Nining Aisha Ahmed sudah terbiasa menghadapi goncangan gempa. Saking seringnya, jika gempa datang Nining paling menggumam, "Oh, gempa," lalu kembali melanjutkan aktivitas. Tapi, Jumat (11/3) lalu terasa berbeda. Hari itu, ia kebetulan mendapat ajakan bergabung ke dalam grup mengaji.
Pengajian itu berlangsung di daerah Minami Gyotoku, Chiba. Lumayan jauh dari kediamannya di Yashio, Saitama. Rencananya, setelah pengajian selesai, Nining akan dijemput suaminya. Tak disangka, usai tadarus Quran, guncangan keras menggoyang gedung. Gempa datang! "Guncangan ini lebih keras dan lebih lama dari yang biasa. Sambil terhuyung-huyung, kami menuruni tangga dari lantai 2," kisahnya. Mereka kemudian berkumpul di lapangan parkir sambil terus melafalkan dzikir dan doa.
Tak lama, guncangan gempa berhenti. Nining dan teman-teman kembali ke dalam rumah dan menyalakan televisi untuk mencari informasi, seberapa besar gempa yang baru saja terjadi. Di layar teve terlihat gambar ombak tsunami yang sedang menggulung Sendai. Nining terperangah. Belum habis rasa kagetnya melihat tayangan itu, "Guncangan keras kembali datang. Kami langsung kocar-kacir keluar rumah. Kali ini lebih banyak orang berkumpul di lapangan parkir."
Bayangan gambar tsunami di Sendai benar-benar membuat Nining khawatir. Pasalnya, Minami Gyotoku juga dekat laut. Makuharu, lokasi kantor Sang Suami, juga dekat laut. "Telepon belum juga nyambung, padahal menurut berita, seluruh Jepang waspada tsunami," ujar Nining yang kala itu terus merasakan guncangan gempa yang susul-menyusul. Kadang besar, kadang kecil. "Kepala sampai terasa pening. Entah karena gempa datang lagi atau sisa goyangan gempa sebelumnya yang masih membuat badan berayun."
Berkali-kali Nining mencoba menghubungi suaminya yang masih berada di kantornya, namun tak juga berhasil. Tiba-tiba beberapa email dan SMS masuk ke ponselnya secara berurutan. Ternyata dari Jakarta, menanyakan kabarnya. "Tak satu pun bisa dibalas," cerita Nining yang setelah terus mencoba akhirnya berhasil menelpon Sang Suami.
Waktu berlalu. Setelah keadaan dirasa cukup aman, Nining dan beberapa teman memutuskan mengungsi di sebuah kantor pemerintah, tak jauh dari situ. Di sana, beberapa orang sudah berkumpul. Lewat salah seorang petugas, Nining mengetahui, daerah itu aman dari bahaya tsunami. "Dia bilang, daerah ini memang laut, tapi teluk. Jadi, tidak apa-apa. Lega rasanya mendengar penjelasan itu," tutur Nining.
Karena seluruh alat transportasi tak bisa beroperasi, Nining terpaksa menginap di rumah salah seorang teman. Suaminya, yang keadaannya baik-baik saja, juga harus menghabiskan malam di kantor.
"Alhamdulillah, aku memutuskan tetap berangkat ngaji. Jika tidak, pasti aku harus melewati itu semua sendirian di rumah, sambil ketakutan."
Menjelang pukul 15.00 waktu Jepang, Jumat (11/3) lalu, Riafeni Karlina (26) sedang tidur-tiduran di kamar asrama mahasiswa yang terletak di Kota Sendai. Feni tengah menemani anak pertamanya, Nadia Sofia Sulaiman, yang baru lahir 21 Februari lalu. Saat itulah ia merasa ada gempa. Awalnya kecil, lalu menjadi besar.
Perempuan yang tengah menempuh pendidikan S3 di bidang lingkungan di Tohoku University ini, langsung menggendong Nadia dan bersembunyi di bawah meja. Waktu getaran gempa mengecil, Feni berlari menuju pintu. Namun, gempa besar kembali datang, sehingga ia terpaksa kembali lagi ke bawah meja.
"Saya bolak-balik dari meja ke pintu, karena getaran gempanya kadang mengecil, kadang besar. Koper, boneka, dan mainan anak di atas lemari berjatuhan," tutur Feni.
Setelah getaran gempa benar-benar kecil, Feni memberanikan diri keluar asrama. "Di luar ada badai salju dan saya lupa bawa selimut. Syukurlah, ada sesama penghuni asrama yang berbaik hati memberi selimut," ujar Feni yang saat itu tengah cuti kuliah setelah melahirkan.
Saat itu Feni belum tahu, kawasan lain di Sendai dilanda tsunami. Itu sebabnya ia tak khawatir memikirkan suaminya, Nuhamsyah Sulaiman (26), yang sesaat sebelum gempa mengabari sedang dalam perjalanan ke kampus dengan bus. "Saya pikir, pasti aman meski ada gempa. Saya baru tahu ada tsunami dari penghuni asrama."
Ia dan Nadia terpaksa tinggal di dalam mobil mahasiswa asal Malaysia yang juga punya bayi, karena ada pemanasnya.
Saat itulah Nuhamsyah pulang, setelah dua jam berjalan kaki menyusuri rel kereta. Tak terkira leganya hati Feni melihat kedatangan Nuhamsyah. Keluarga kecil ini lantas menuju pengungsian bersama penghuni asrama lain. "Setiap pagi dan malam, setiap pengungsi mendapat satu nasi kepal, yaitu nasi instan yang dicampur rumput laut," ujar Feni. Hari ketiga, KBRI menjemput para pengungsi asal Indonesia, termasuk keluarga Feni, untuk dibawa ke Tokyo dengan bus. Bersama para WNI lainnya, keluarga kecil Feni menginap di sekolah KBRI selama satu malam.
Keluarga tentu menyambut kepulangan mereka ke Jakarta, Selasa (15/3) dengan sukacita. Selain karena anak-beranak ini selamat, keluarga besar mereka belum pernah bertemu Nadia sebelumnya. Apalagi, kepulangan Feni ini cukup lama, lantaran kampusnya ditutup sampai 24 April mendatang. "Kami nikmati saja waktu bersama keluarga di sini, sambil mengimunisasi Nadia yang belum sempat diimunisasi di sana."
Nining, Hasuna / bersambung
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR