Selain Yanti, Emi dan suaminya Ery Triyadi juga mengaku beruntung mendapat lapak gratis di Pasar Klithikan Kuncen. Pasangan suami-istri itu semula berjualan barang-barang bekas di Alun-Alun Selatan Keraton, Yogya. "Pendapatan saya meningkat setelah berjualan di tempat baru ini. Kami bisa berdagang apa saja yang diloakkan pengunjung pasar. Ada lukisan dari Mesir, saya jual Rp 30 ribu. Saya juga jualan buku-buku kuno. Buku-buku tua ini saya buru sampai Solo," terang Ery.
Karena keunikannya, kini Pemerintah Kota Yogyakarta memproyeksikan Pasar Klithikan Kuncen sebagai alternatif tujuan wisata di Yogyakarta. Apa uniknya? Belanja barang bekas di pasar klithikan ini, calon pembeli harus pandai menaksir sendiri harga barang yang akan dibeli atau diloakkan. Sebab, tak jarang si penjual tak bisa memperkirakan berapa harga barang yang pas. Karena itu, pembeli menawar barang lebih dulu. Seperti yang dilakukan Yanti. Ketika ada seorang pria menanyakan salon (radio) bekas, Yanti justru mempersilakan si pembeli menaksir sendiri harga salon bekasnya.
Murahnya harga-harga di pasar klithikan, lantaran para pedagang tak dibebani pajak atau sewa tempat. Juga tak dipungut biaya pemakaian listrik dan air. "Padahal, kami boleh buka selama 18 jam per hari, lho. Kami cuma dipungut karcis Rp 1.600 per hari. Kalau lebih dari 18 jam, tinggal tambah Rp 800 saja. Makanya harga-harga bisa murah," terang salah seorang pedagang.
Meski semua serba gratis, lapak mereka tak boleh diperjual-belikan. Namun, sejak 1 Juli 2009, "Lapak pedagang boleh dialihkan pengelolaannya ke pedagang lain atau orang baru. Saat terjadi pengalihan hak, harus dilakukan di depan pengurus pasar agar bisa didata," ujar Sigit Purnomo, Lurah Pasar Klithikan Kuncen.
Uang balik nama dari pemilik baru pun boleh diambil pedagang lama. Soal besarnya uang balik nama, terserah kesepakatan mereka," tegas Sigit.
Rini Sulistyati
Foto: Rini Sulistyati
KOMENTAR