Tak hanya warga Yogyakarta yang mengunjungi Pasar Klithikan Kuncen, pengunjung dari luar kota dan turis asing pun mau masuk ke pasar ini. Pasar barang bekas yang semula identik dengan kaum pria ini, kini tak berlaku lagi. Kaum perempuan pun menjadi subyek pembeli dan penjual.
Noni, misalnya, yang tengah sibuk menawar sebuah gitar akustik untuk Livia, putrinya yang gemar main gitar. "Tidak semua barang di pasar klithikan itu barang bekas. Ini gitar baru, lho. Di toko harganya bisa dua kali lipat. Saya cari gitar bikinan Sukoharjo, tapi enggak nemu. Yang ada buatan Bandung," terang Noni yang akhirnya gembira bisa membawa pulang gitar seri 325 yag dibungkus tas khusus gitar bermerek ternama.
"Di toko, gitar harganya bisa di atas Rp 400 ribu. Di sini bisa lebih murah karena tidak ada pajak penjualan. Barang dagangan saya langsung didapat dari produsennya," timpal Agung, sang penjual.
Agung yang sebelumnya berjualan barang klithikan di Jalan Mangkubumi, kini bersyukur bisa diberi tempat berjualan gratis oleh Pemkot Yogyakarta. "Waktu masih di Jalan Mangkubumi, pelanggan saya juga banyak. Tapi di sana, kan, tempat jualannya ilegal. Sekarang saya senang, ada tempat jualan resmi dan pembeli juga enggak kalah banyak. Sepinya paling di musim pendaftaran sekolah saja," terangnya.
Pasar Klithikan Kuncen juga menjadi ajang meloakkan barang bagi mahasiswa asal Solo bernama Winky. Berdalih ingin membeli sepeda motor baru, ia rela menjual dua buah kamera tua koleksi ayahnya di pasar ini. Seakan tak cukup, ia pun melego beberapa lembar kertas yang mewartakan iklan-iklan tua. Tawar-menawar pun dilakukan. Winky langsung beringsut ke pedagang lainnya di lantai dua Pasar Klithikan Kuncen, begitu transaksi di lantai dasar tak menemukan kesepakatan.
Sebelum ditampung di Pasar Klithikan Kuncen, semula para pedagang di sana adalah para pedagang kaki lima yang tersebar di tiga lokasi yang berbeda dan ilegal. Yakni di Alun-Alun Selatan, Jalan Mangkubumi, dan Asem Gede (Pasar Kranggan). Jumlahnya mencapai 718 pedagang. Rata-rata, para pedagang itu menjual dan membeli onderdil bekas. Mulai dari sekrup sepeda, kipas angin, hingga setrika dan barang pecah belah bekas. Karena itu, dinamakan barang klithikan. Seperti bunyinya, terdengar klithak-klithik.
Di tiga lokasi jualan lama tadi, setiap malam ramai dikunjungi pembeli, bahkan sering kali membuat jalanan menjadi macet setiap Sabtu malam. Karena itulah pemerintah setempat lalu membuatkan tempat permanen bernama Pasar Klithikan Kuncen.
Meski namanya pasar klithikan, barang jualan mereka sekarang ini tak hanya barang bekas. Melainkan ada pedagang pakaian, sepatu, alat musik, bahkan penjahit celana dan baju. Itu sebabnya, Yanti, tak sungkan ikut berdagang di Pasar Klithikan Kuncen. Yanti menjual radio dan tape recorder bekas.
"Belinya, sih, murah. Kalau mau djual lagi, diperbaiki dulu. Begitu dijual lagi, harganya bisa naik. Tapi, ada juga yang beli salon (radio) bekas, enggak pakai diperbaiki sudah ada yang menawar," ucapnya.
Sebelum berjualan di Pasar klithikan, Yanti sudah berjualan di Jalan Mangkubumi dan mengaku nyaman saja kendati pembelinya kebanyakan kaum pria. "Jualan seperti ini, kan, karena kepepet saja. Dulu, saya pernah buka dealer sepeda motor, tapi enggak jalan. Malah rezeki saya di sini,'' tambahnya.
Selain Yanti, Emi dan suaminya Ery Triyadi juga mengaku beruntung mendapat lapak gratis di Pasar Klithikan Kuncen. Pasangan suami-istri itu semula berjualan barang-barang bekas di Alun-Alun Selatan Keraton, Yogya. "Pendapatan saya meningkat setelah berjualan di tempat baru ini. Kami bisa berdagang apa saja yang diloakkan pengunjung pasar. Ada lukisan dari Mesir, saya jual Rp 30 ribu. Saya juga jualan buku-buku kuno. Buku-buku tua ini saya buru sampai Solo," terang Ery.
Karena keunikannya, kini Pemerintah Kota Yogyakarta memproyeksikan Pasar Klithikan Kuncen sebagai alternatif tujuan wisata di Yogyakarta. Apa uniknya? Belanja barang bekas di pasar klithikan ini, calon pembeli harus pandai menaksir sendiri harga barang yang akan dibeli atau diloakkan. Sebab, tak jarang si penjual tak bisa memperkirakan berapa harga barang yang pas. Karena itu, pembeli menawar barang lebih dulu. Seperti yang dilakukan Yanti. Ketika ada seorang pria menanyakan salon (radio) bekas, Yanti justru mempersilakan si pembeli menaksir sendiri harga salon bekasnya.
Murahnya harga-harga di pasar klithikan, lantaran para pedagang tak dibebani pajak atau sewa tempat. Juga tak dipungut biaya pemakaian listrik dan air. "Padahal, kami boleh buka selama 18 jam per hari, lho. Kami cuma dipungut karcis Rp 1.600 per hari. Kalau lebih dari 18 jam, tinggal tambah Rp 800 saja. Makanya harga-harga bisa murah," terang salah seorang pedagang.
Meski semua serba gratis, lapak mereka tak boleh diperjual-belikan. Namun, sejak 1 Juli 2009, "Lapak pedagang boleh dialihkan pengelolaannya ke pedagang lain atau orang baru. Saat terjadi pengalihan hak, harus dilakukan di depan pengurus pasar agar bisa didata," ujar Sigit Purnomo, Lurah Pasar Klithikan Kuncen.
Uang balik nama dari pemilik baru pun boleh diambil pedagang lama. Soal besarnya uang balik nama, terserah kesepakatan mereka," tegas Sigit.
Rini Sulistyati
Foto: Rini Sulistyati
KOMENTAR