Apa kabar, Bu?
Alhamdulillah baik.
Sebagai istri Nurdin Halid, mau tak mau terkena imbas, ya. Bagaimana perasaan Anda?
Jelas saya sedih, tapi sebisa mungkin saya tidak memperlihatkan muka sedih di depan Bapak. Kalau sedang ingin mencurahkan perasaan hati yang kesal, saya salat tahajud atau istiqarah, minta sama Allah. Tidak mungkinlah saya mencurahkan perasaan kepada anak-anak, membebani mereka. Kepada anak-anak, saya inginnya memberi perhatian. Yang happy-happy saja. Kalau yang susah-susah, biar saya, Bapak dan Allah saja yang tahu.
Yang paling bikin saya sedih kalau melihat di televisi Bapak dikata-katai anjing. Astagfirullah. Kok, tega menyebut sesama manusia seperti itu? Ini yang berdemo apa enggak pakai hati? Coba dikembalikan kepada diri sendiri, kalau suami atau istri mereka dikata-katai seperti itu, bagaimana rasanya?
Apalagi, seperti yang saya lihat, mereka yang datang dari berbagai daerah itu, kok, menengah ke bawah. Mau tidak mau kepikiran, apa mungkin mereka ada yang memberi sponsor? Kalau mereka punya pekerjaan, kan, enggak mungkin mereka mau menghabiskan waktu untuk berdemo seperti itu.
Kok, masih tahan mengikuti pemberitaan media?
Ya, sebagai istri saya juga pengin tahu apa yang terjadi. Tapi saya menyayangkan sekali, pemberitaan tentang Bapak, kok, sepertinya tidak seimbang. Semua keburukannya yang dikuliti. Tiap orang, kan, ada kekurangan, juga pasti ada kelebihan. Memangnya selama 8 tahun jadi Ketum PSSI, Bapak tidak pernah ada prestasi? Anak-anak juga selalu memantau di Twitter dan Facebook. Tapi, kalau bahasanya sudah enggak sopan, anak saya enggak mau kasih lihat. "Daripada emosi," kata mereka.
Saya beri penjelasan, Bapak kalian itu bukan orang kecil. Tidak mungkin Bapak digoyang kalau dia tukang becak atau tukang ojek. Karena ada jabatan, maka jadi seperti ini. Alhamdulilah anak-anak mengerti. Mereka tahu pekerjaan bapaknya seperti apa, dia dibeginikan sebabnya apa.
KOMENTAR