Niat hati ingin menikmati masa tua yang indah, Ferdi Hasan malah menderita kerugian lebih dari 11 miliar rupiah. Menurut Ferdi, uang tersebut diinvestasikan secara bertahap di berbagai bidang usaha atas rekomendasi PT Quantum Magna (QM), sebuah perusahaan perencana jasa keuangan di Jakarta.
Ayah dua anak ini mengisahkan ihwal awal menjadi klien QM. Ia berkenalan dengan Ligwina Hananto (CEO QM) yang kemudian dipanggilnya Wina, pada tahun 2006. "Kami bertemu dalam acara perbankan di stasiun televisi. Waktu itu, ngobrolnya cocok," kenang Ferdi. "Awalnya investasinya masih terukur, semacam reksa dana," kata Ferdi.
Ferdi lalu melirik produk investasi berisiko tinggi. Sebut saja, index trading. Menurut Ferdi, ia menggelontorkan Rp1 miliar. Pengembaliannya terbilang cepat dan mendapat untung sejumlah Rp500-600 juta. "Sebagai imbalan, saya membayar fee dan komisi dengan persentase tertentu pada setiap alokasi dana yang diinvestasikan," kenang Ferdi.
Ia lalu mengikuti saran Wina agar melipatgandakan investasinya menjadi Rp2 miliar di Raha Indeks Traders pada tahun 2010. Sayangnya, dana tersebut habis dalam tempo kurang dari sebulan. "Mereka berdalih tidak menguasai produk investasi tersebut." Presenter kondang ini pun harus menenangkan istrinya yang uring-uringan.
Ketika persoalan di Raha Indeks Traders masih menjadi buah bibir, Ferdi dikenalkan Wina kepada Michael Ong dari Golden Traders International (GTI). "Saya tertarik dengan hitungan persentase yang mereka jabarkan. Saya sampai menjual rumah untuk memenuhi target investasi sebesar Rp2,865 miliar. Setelah dana saya berikan, saya baru tahu GTI tidak memiliki izin dari Bapepam."
Di tahun 2011, Ferdi dikenalkan kepada financial planner bernama Benny Rahardjo. Ferdi disarankan berinvestasi di perkebunan jati di PT Jati Artamas. Ferdi pun rela mengagunkan rumah. Dana sebesar Rp1,050 miliar ini digunakan untuk membeli lahan dan bibit kayu jati.
Setelah berjalan tiga tahun, sertifikat yang dijanjikan bakal sampai di tangan Ferdi dalam waktu enam bulan malah tidak jelas rimbanya. "Ternyata, lahan perkebunan tersebut bersertifikat ganda, sehingga tidak mungkin mendapat surat kepemilikan tanah dari Badan Pertanahan Nasional wilayah Bogor," jelas Ferdi.
Di saat yang hampir bersamaan, Benny menyarankan berinvestasi perusahan tenaga kerja ahli ke luar negeri di PT Triguna Jaya Usaha Bahari. "Saya mengambil saham mayoritas sebesar Rp 300 juta." Hasilnya, dana tersebut lenyap karena pemilik perusahaan menghilang.
Ferdi belum kapok. Demi mengatasi kerugian, ia mengaku mengiyakan rekomendasi QM untuk berinvestasi di sektor agrobisnis di PT Panen Mas pada tahun 2012-2013. Ferdi mentransfer dana kepada Ari Pratomo untuk pembelian pabrik tapioka di kawasan Sentul sebesar Rp460 juta dan Rp366 juta untuk hal yang sama di kawasan Pasir Angin. Ada juga investasi singkong super sebesar Rp390 juta, dan ayam super sebesar Rp238 juta.
Alih-alih menutup kerugian, Ferdi kembali gigit jari. Begitu juga ketika Ferdi berinvestasi di usaha burung puyuh senilai Rp204 juta dan Rp693 juta. "Beberapa bulan kemudian, mereka mengatakan dengan enteng bahwa CV Panen Mas gagal panen sehingga mengalami kerugian. Malah Ari Pratomo selaku direktur Panen Mas telah ditahan polisi karena telah melarikan uang milik nasabah," jelas Ferdi.
Saat Ferdi berinvestasi di PT Trimas Mulia sebesar Rp2,520 miliar, ia kembali "buntung" karena Trimas Mulia dinyatakan pailit. "Semua dana yang saya investasikan berdasarkan rekomendasi QM adalah tabungan selama bertahun-tahun untuk mengamankan masa depan. Pekerjaan seperti saya, kan, tidak bisa dilakukan seumur hidup. Eh, enggak tahunya begini," keluh Ferdi.
KOMENTAR