Munculnya bakteri yang ada dalam susu formula tersebut bermula dari seorang mahasiswa yang melakukan penelitian di Institut Pertanian Bogor (IPB). Dari hasil penelitian ditemukan bakteri Enterobacter Sakazakii sebesar 22,73 persen dari 22 sampel susu formula yang beredar di tahun 2003 hingga 2006.
Saat hasil penelituan itu keluar, mahasiswa tersebut enggan membeberkan beberapa merk susu yang mengandung bakteri Enterobacter Sakazakii. Meski kecewa namun KPAI dapat memahaminya.
"Kita bisa pahami posisi IPB pada waktu itu tidak berani menyebutkan merek susu yang sudah terkontaminasi karena tidak ada mandat untuk mengumumkan ke publik sebelum ada klarifikasi. Semua terjawab ketika keluarnya putusan MA. Saat ini tidak ada alasan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan, untuk menolak menyebutkan merek susu formula tersebut," ujar Sekretaris KPAI, M.Ihsan.
Putusan MA yang sudah dikeluarkan beberapa waktu lalu diharapkan tidak dilanggar oleh Menteri kesehatan, BPOM dan IPB untuk segera mempublikasikan nama-nama merk susu formula yang mengandung bakteri enterobacter sakazakii.
"Ini merupakan putusan tertinggi yang harus dipatuhi oleh semua pihak dan tidak ada alasan untuk menutup-nutupi nama-nama produsen yang dimaksud oleh MA," ujarnya.
Menurut Ihsan, ditemukannya enterobacter sakazakii adalah hanya salah satu kasus ketidakterbukaan pemerintah dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat, terutama berkaitan dengan proses kelahiran dan kesehatan anak. Ihsan pun berharap, pemerintah jeli akan hal ini dan memberikan solusi bagi kesehatana anak.
"Masih banyak kasus-kasus lain yang belum terungkap yang jelas-jelas merugikan kepentingan terbaik anak Indonesia. Pemerintah dan penyelenggara kesehatan harus memberikan informasi yang cukup kepada pasien sebelum intervensi dilakukan sehingga masyarakat tidak dirugikan karena intervensi kesehatan yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan keinginan masyarakat," katanya.
Contoh yang mengenaskan menurut data KPAI adalah keterkaitan sebuah rumah sakit dengan produsen susu. Hal ini membuat para ibu mau tidak mau mengikuti aturan yang dilakukan pihak rumah sakit dimana tempat ibu melakukan persalinan. Pengajaran yang salah akan perlunya susu formula semakin membuat pengetahuan seorang ibu tersesat. Untuk itu KPAI pun mendesak pemerintah untuk mengumumkan jenis susu yang tercemar bakteri enterobacter sakazakii.
"Saat ini masyarakat Indonesia sangat cerdas dan tidak bisa dibohongi dengan kata-kata untuk melindungi produsen susu. Kita tahu selama ini ada simbiosis mutualisme antara rumah sakit, dokter atau bidan untuk mendistribusikan susu formula kepada bayi di bawah dua tahun, lebih parah dari itu, susu formula langsung disuguhkan ke pada bayi yang baru lahir sehingga terjadi ketergantungan terhadap susu formula, padahal PBB sudah mengumumkan bahwa wajib ASI ekslusif untuk bayi sampai umur 6 bulan. Jarang sekali masyarakat diberi pilihan apakah akan mengonsumsi susu formula atau ASI ekslusif dan diberi pengetahuan tentang pentingnya asi eksklusif untuk kesehatan anak," paparnya.
Komisi yang melindungi anak-anak Indonesia ini menilai pemerintah lamban dalam menangani masalah ini. alhasil, anak-anak menjadi korban mafia kesehatan yang seharusnya bisa dicegah.
"KPAI menyadari bahwa anak sering menjadi objek mafia kesehatan, sehingga banyak treatmen dokter atau rumah sakit yang sangat merugikan masyarakat seperti cara persalinan, penggunaan obat, dan perawatan kesehatan lainnya. Semua ini harus dihentikan demi kepentingan terbaik bagi anak Indonesia," katanya.
Perlindungan anak pun sudah diatur di undang-undang no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 46 menyebutkan bahwa Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup atau menimbulkan kecacatan. Selanjutnya pasal 2 menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD Negara RI tahun 1945 serta prinsip-prinsip dan konvensi Hak-Hak Anak meliputi : a, non diskriminasi, b, kepentingan yang terbaik bagi anak, c, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan dan, d, penghargaan terhadap pendapat anak
"Peraturan dan perundang-undangan sudah sangat cukup untuk melindungi anak Indonesia, oleh karena itu kami himbau kepada seluruh masyarakat Indonesia ikut secara aktif mengawasi dan melaporkan jika ada pelanggaran terhadap perlindungan anak. Hal ini sesuai dengan pasal 20 bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak," tegasnya.
Icha
KOMENTAR